TIDAK banyak yang ketahui, juga paham mengapa orang menulis atau memposting tulisannya di Media Sosial (Medsos), semisal Facebook, WhatsApp dan lainnya. Hanya Allah dan penulisnya yang tahu, begitu kesimpulan yang mungkin ditarik, agar pikiran kita tidak melayang kemana-mana.
Era ini adalah momentum dimana informasi ‘banjir’ tak terkendali. Meluapnya informasi kata pengkaji ilmu komunikasi, yang konsen mengamati bilik medsos, sebagai jaman baru pembagian saluran kerja media, yang dulu hanya menjadi milik wartawan, melalui media komersial atau dikenal juga dengan media arus utama.
Saat medsos belum sefamiliar sekarang, perbincangan tentang peristiwa atau apa saja hanya ada di tempat orang berkumpul, pertemuan rutin komunitas, dan ajang diskusi orang-orang memiliki ikatan emosional yang sama. Namun semua itu telah bergeser, medsos telah menjadi tempat berkumpul baru, dengan muatan isu yang lebih beragam, dari curhat pribadi sampai isu politik, perang kelompok hingga Palestina vs Israel.
Seseorang tiba-tiba berubah menjadi ‘wartawan’ dengan laporan langsung peristiwa yang terjadi dimana dirinya berada. Berhamburannya topik dan konten agamis, juga menjadikan seseorang beralih fungsi dari preman menjadi da’i. Bahkan seorang anak pengangguran di kabupaten, berkat kemauannya menggeluti medsos YouTube kini meraup penghasilan sekira Rp19 juta sebulan.
Jutawan baru telah bermunculan berkat medsos, para penganggur juga menerima upah dari jasa buzzer, dari Rp750 ribu, hingga Rp25 juta, tergantung isu apa dan luasan spektrum yang menjadi area kerjanya. Semua itu menjadi fenomena kekinian dimana kita nyaris tidak sepenuhnya menyadarinya. Tangan-tangan tak terlihat tengah bekerja dengan sangat aktif, orang-orang bisa saja tidak menyadarinya, bahwa seorang tukang bengkel motor telah meraup hampir Rp90 juta, justru bukan dari membetulkan motor rusak, melainkan dari konten medsos yang dibuatnya.
Kembali ke menulis di medsos, seorang kawan yang saat ini tidak lagi aktif sebagai wartawan duduk bersamaku menikmati kopi sore ini di bilangan Panakkukang Makassar. Kami bercerita tentang banyak hal, diantaranya tentang menulis di medsos. Inti pertanyaannya “mengapa pak Zul, gemar menulis panjang-panjang di Facebook”. Pertanyaan yang diajukan kawan itu, sama dengan apa yang ada dalam pikiranku.
Sebuah penelitian komunikasi yang dilakukan 5 tahun lalu menyimpulkan, medsos tidak cocok untuk tulisan-tulisan panjang, karakter medsos cocok untuk status-status atau komentar pendek. Dengan demikian pertanyaan kawan tadi kepadaku mewakili apa yang kupikirkan, benarkah tulisan panjang ada peminatnya di medsos?. Kita semua saya dan anda memang tidak sepenuhnya menyadari akan manfaat keberadaan kita di medsos, tetapi di penelitian lain menyebutkan tidak sedikit manfaat yang bisa dipetik dari jutaan konten di medsos.
Medsos menurut hemat saya bukan lagi sekadar tempat membuang kegalauan, kemarahan, status palsu, mencari nafkah, berjualan, memelihara komunitas dan kawan yang mungkin berada jauh dari kita, kawan lainnya berpesan kepadaku jangan ‘membuang sampah’ di area publik, karena status yang di like, bukanlah jaminan kawan pembaca suka, boleh jadi sekadar membuang penat dan menyenangkan hati kita, sekalipun konten kita tak disukainya.
Untuk pertanyaan kawan saya itu, cukup kukomentari dengan alasan, “Saya menulis karena saya ada.” Suatu ketika saya akan berhenti, bukan karena saya tak ingin menulis, tetapi waktu telah berakhir. Lihatlah kawan-kawan kita yang medsosnya masih aktif, namun jasadnya telah lama hancur. Postingan mereka juga tidak panjang-panjangan. Bahkan ada yang hanya sekadar foto, gambar dan meme. Jadi tulisan panjang atau pendek bukan soal, yang soal itu apakah kita sadar apa yang kita jadikan status di medsos.
Pegasus Coffee Panakkukang Makassar
Kamis 24 Juni 2021
Zulkarnain Hamson