Menulis Zaman: Jejak Panjang Sejarah Jurnalistik dari Dunia hingga Nusantara

Dari Acta Diurna hingga Medan Prijaji, dari tinta hingga layar sejarah jurnalistik adalah kisah abadi tentang manusia yang mencari kebenaran di tengah perubahan zaman. ( Foto ilustrasi)

Kumbanews.com – Jauh sebelum manusia mengenal internet atau mesin cetak, berita lahir dari kebutuhan dasar untuk tahu dan memberi tahu. Di pasar, di balai kota, di antara percakapan sore hari kabar berpindah dari satu mulut ke mulut lain. Di sanalah cikal bakal jurnalistik pertama kali muncul, bukan sebagai profesi, melainkan naluri sosial manusia.

Sejarah mencatat, di masa Romawi Kuno muncul Acta Diurna, lembaran pengumuman resmi berisi laporan politik dan sosial yang ditempel di ruang publik. Di Tiongkok, Dinasti Han menerbitkan Dibao, buletin istana yang mengabarkan keputusan kaisar. Dua bentuk awal inilah yang menjadi nenek moyang surat kabar modern saksi bahwa keinginan menyampaikan kabar telah ada jauh sebelum tinta mengenal kertas.

Bacaan Lainnya

Memasuki abad ke-15, Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak yang merevolusi dunia informasi. Lembar-lembar berita kini dapat disalin massal dan tersebar luas. Eropa pun memasuki era baru lahir surat kabar pertama seperti The Daily Courant di Inggris dan La Gazette di Prancis. Dunia mulai mengenal istilah press, reporter, dan editor. Jurnalis menjadi saksi zaman yang menulis sejarah dengan kecepatan tinta.

Arus itu akhirnya sampai ke Nusantara. Tahun 1744, Bataviaasch Nouvelles terbit di Batavia sebagai surat kabar pertama di Hindia Belanda. Namun media berbahasa Melayu baru muncul seiring meningkatnya kesadaran nasional. Tahun 1907, R.M. Tirto Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji koran pribumi pertama yang menulis bukan sekadar berita, tapi semangat perlawanan. Dari pena Tirto lahir jurnalisme pergerakan, tempat kata menjadi senjata melawan ketidakadilan.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, jurnalis menjadi bagian dari barisan terdepan perlawanan. Surat kabar seperti Soeara Oemoem, Asia Raya, dan Indonesia Raya tak hanya memberitakan peristiwa, tapi juga membangkitkan semangat nasionalisme. Setelah kemerdekaan, nama-nama seperti Rosihan Anwar, Adam Malik, dan Mochtar Lubis mewarnai era baru pers Indonesia. Mereka menulis dengan keberanian, menjadikan jurnalistik bukan sekadar profesi, tapi panggilan nurani.

Zaman terus bergerak. Radio datang membawa suara berita, televisi menampilkan gambar, dan kini layar digital menghadirkan kabar seketika. Media sosial menjadikan setiap orang bisa menjadi penyampai berita. Namun di tengah banjir informasi dan riuhnya opini, peran wartawan sejati tak tergantikan: mencari kebenaran, memeriksa fakta, dan menjaga akurasi.

Dari Acta Diurna di Roma Kuno hingga Medan Prijaji di Hindia Belanda, dari mesin cetak Gutenberg hingga media daring masa kini perjalanan jurnalistik adalah kisah panjang manusia yang tak pernah berhenti mencari makna dan kebenaran. Pena boleh berubah menjadi layar, tapi nurani wartawan tetap menjadi cahaya yang menuntun publik memahami dunia.

 

Editor: Fyla Abdul

Pos terkait