Meski Ditodong Pistol dan Dipecat, dr Tifauzia Tak Izinkan Vaksin Corona Selain Vaksin Merah Putih

  • Whatsapp

Kumbanews.com – Ahli epidemiologi dr Tifauzia Tyassuma menegaskan tidak akan mengizinkan penggunaan vaksin corona selain Vaksin Merah Putih.

Dokter cantik yang akrab dipanggil dr Tifa ini mengaku tidak takut ditodong pistol atau dipecat demi memperjuangkan Vaksin Merah Putih.

Bacaan Lainnya

“Saya tidak mengizinkan siapapun juga, walau dengan todongan pistol sekalipun, walau dengan ancaman saya dipecat sekalipun, walau dengan ancaman denda sekalipun, walau dengan ancaman pidana sekalipun, untuk menyuntikkan Vaksin Corona, selain Vaksin Merah Putih,” ucapnya dikutip Pojoksatu.id dari akun Facebook pribadinya, dr Tifauzia Tyassuma.

Akademisi bidang epidemiologi ini menyebut lebih baik dia mati karena menggunakan vaksin Merah Putih ketimbang mati karena menggunakan vaksin lain.

“Kalau seandainya saya mengalami efek samping ringan, sedang, atau berat, atau sampai mati sekalipun, saya lebih baik mengalaminya karena Vaksin Merah Putih, bukan karena Vaksin yang lain. Seandainya saya mati karena Vaksin Merah Putih, setidaknya kematian saya berjasa, untuk membuat Peneliti Vaksin Merah Putih, memperbaiki kualitas Vaksin tersebut, agar tidak terjadi lagi pada diri orang lain,” tegasnya.

Di akhir postingannya, dr Tifa menegaskan tidak menolak vaksin Covid-19, tetapi dia tidak akan mau disuntik vaksin selain vaksin buatan Indonesia.

“Sekali lagi saya tegaskan di sini. Saya tidak Anti Vaksin. Tetapi saya tidak mau disuntik Vaksin selain Vaksin dari Virus Asli Indonesia, Vaksin yang dibuat oleh Bangsa Indonesia sendiri. TITIK!,” tegasnya.

Dokter Tifa yang dihubungi Pojoksatu.id melalui pesan WA, Selasa (11/1) mengizinkan untuk mengutip postingannya tersebut.

Berikut ini postingan lengkap dr Tifauzia Tyassuma di akun Facebooknya:

Dear Para Dokter dan Nakes, dan Para Orangtua yang memiliki Anak Nakes yang sudah menghubungi saya melalui whatssap, telpon, maupun inbox.

Terkait dengan “undangan” melakukan Vaksinasi kepada Para Nakes yang sudah diedarkan oleh Satgas COVID-19 di masing-masing daerah.

Pertanyaan yang disampaikan rata-rata seragam, mengerucut kepada tiga pertanyaan sbb:

Satu

“Dokter Tifa, saya Dokter XXX di wilayah YYY, sudah mendapat undangan untuk menjalankan vaksin. Seperti sudah disampaikan Menkes, kloter pertama penyuntikan vaksin kan menggunakan vaksin Sinovac, Dok. Bagaimana cara menolaknya Dok? Saya ngga mau disuntik vaksin kualitas rendah dari Cina lagi. Mohon advis, Dok”

Dua

“Dokter, saya seorang Ibu dengan dua anak saya Dokter, yang sekarang sedang jadi Residen (Peserta Program Spesialis) dan tugas di Rumah Sakit ZZZ. Kedua anak saya sudah dapat panggilan untuk suntik Vaksin, Dok. Terus terang saya tidak ikhlas anak saya mendapat vaksin Sinovac. Kalaupun anak-anak saya harus divaksin, saya mau anak-anak saya dapat vaksin dengan kualitas lebih baik, setidaknya yang dari Pfizer. Saya rela bayar sendiri walaupun mahal sekalipun, asalkan vaksin buat anak-anak saya bukan dari Sinovac. Bagaimana jalan keluarnya, Dok?”

Tiga

“Dokter, saya Perawat di kota AAA, sudah dapat notifikasi untuk divaksin. Bisa ngga sih Dok menghindari divaksin? Apa saya pura-pura suntik saja dengan teman-teman sesama Nakes, tapi vaksinnya saya buang saja? Nanti kalau vaksin Indonesia sudah jadi, Vaksin Merah Putih, kami baru mau disuntik Vaksin betulan”.

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, jumlahnya ribuan. Bayangkan saja apa tidak pecah kepala saya harus melayani ribuan pertanyaan seperti ini, yang saya yakin Dokter Tedros Adanom Gebreyessus Dirjen WHO saja pasti tidak bisa jawab dengan mudah.

Saya jawab dengan dengan jawaban tegas untuk diri sendiri.

“Saya tidak mengizinkan siapapun juga, walau dengan todongan pistol sekalipun, walau dengan ancaman saya dipecat sekalipun, walau dengan ancaman denda sekalipun, walau dengan ancaman pidana sekalipun, untuk menyuntikkan Vaksin Corona, selain Vaksin Merah Putih”.

“Kalau seandainya saya mengalami efek samping ringan, sedang, atau berat, atau sampai mati sekalipun, saya lebih baik mengalaminya karena Vaksin Merah Putih, bukan karena Vaksin yang lain. Seandainya saya mati karena Vaksin Merah Putih, setidaknya kematian saya berjasa, untuk membuat Peneliti Vaksin Merah Putih, memperbaiki kualitas Vaksin tersebut, agar tidak terjadi lagi pada diri orang lain”.

“Tentu saja sebelum saya disuntik dengan Vaksin Merah Putih, saya akan mempersiapkan segala sesuatunya, sehingga ketika penyuntikan itu terjadi, maka pencegahan terjadinya Adverse Effect sampai pada syok anafilaksi yang berpotensi menyebabkan kematian, bisa terhindarkan. Semoga Allah swt melindungi, menjaga, dan memberikan kesempatan usia panjang bagi saya, sehingga saya masih memiliki banyak waktu untuk berdarmabakti bagi umat manusia, bangsa, dan negara”.

Karena itu, saya akan menunggu dengan sabar, dengan Protokol Super Ketat, dengan kehati-hatian tingkat tinggi, sampai Vaksin Merah Putih jadi, dan siap diedarkan, dan siap digunakan.

Tidak ada satupun negara di kolong bumi ini, boleh melakukan program penyuntikan Vaksinasi, dalam situasi emergency sekalipun, dengan ancaman kepada rakyatnya. Oleh WHO, sejak WHO berdiri di tahun 1958, Vaksinasi adalah Program Sukarela, bukan program Mandatory.

Tugas Pemerintah, untuk MENYEDIAKAN VAKSIN TERBAIK, memberikan edukasi terbaik, memberikan pemahaman terbaik.

Bukan memberikan ANCAMAN DAN HUKUMAN KEPADA RAKYATNYA.

Kalau ada satu Rakyat, yang cedera karena Vaksin, yang meninggal karena Vaksin,

Saya mau tanya kepada Presiden, kepada Menteri Kesehatan”

Tanggungjawab apa yang bisa Anda berikan kepada Penerima Vaksin?

Sekali lagi saya tegaskan di sini. Saya tidak Anti Vaksin. Tetapi saya tidak mau disuntik Vaksin selain Vaksin dari Virus Asli Indonesia, Vaksin yang dibuat oleh Bangsa Indonesia sendiri.

TITIK!

[psid]

Pos terkait