Miss Understanding: Objektifikasi Tubuh Perempuan di Balik Jargon Women Empowerment

Ilustrasi AI

Satire Tubuh, Politik, dan Mak-Mak yang (Ter)Berdaya

Totalitas dalam berpolitik rupanya bisa hadir dalam banyak rupa. Salah satunya diperlihatkan oleh sekelompok mak-mak yang dengan gagah berani mengancam akan berdemo sambil ber-BH dan ber-CD. Aksi yang diwarnai dengan jargon “kebebasan berekspresi” itu sontak membuat jagat media sosial mendidih antara yang geli, prihatin, sampai yang menganggapnya bentuk women empowerment versi lokal.

Bacaan Lainnya

Fenomena ini menarik sekaligus ironis. Di tengah gempuran isu ekonomi, lingkungan, dan ketimpangan sosial, publik justru disuguhi panggung politik yang menjual tubuh sebagai ekspresi perlawanan. Seketika saya teringat tulisan Rosihan Anwar di Kompas tanggal 4 Desember 2010, berjudul “Inlander Dinilai.” Dalam tulisan itu, Rosihan mengutip ucapan seorang rohaniwan Belanda yang telah tiga puluh tahun tinggal di Indonesia:

“Inilah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia dilahirkan dengan naluri politik, dan mereka mati dengan itu pula.”

Kalmat itu terasa menggigit. Rosihan, dengan gaya khasnya yang reflektif, menggambarkan bangsa Indonesia sebagai makhluk politik sejati. Politik bukan sekadar urusan parlemen dan kekuasaan, tapi sudah menjalar ke ruang-ruang privat: dapur, panggung hiburan, bahkan tubuh. Barangkali inilah mengapa setiap isu di negeri ini, sekecil apa pun, bisa berubah menjadi bahan debat politik termasuk soal pakaian dan ekspresi perempuan.

Tubuh Perempuan: Dari Ideologi ke Komoditas

Kegaduhan tentang mak-mak yang mengancam akan berdemo “dengan ber-BH dan ber-CD” memperlihatkan satu hal yang sudah lama menjadi penyakit laten politik kita: tubuh perempuan lebih sering dibahas daripada pikirannya. Objektifikasi tubuh perempuan menjadi isu yang terus berulang, berganti wajah, tapi tetap bernapas di ruang yang sama yaitu ruang kekuasaan.

Dalam sejarah Indonesia, tubuh perempuan telah lama menjadi arena pertarungan ideologis. Pada tragedi 1965, ribuan perempuan, terutama yang dituduh anggota Gerwani atau simpatisan PKI yang mengalami penyiksaan seksual sistematis. Kesaksian para penyintas yang dihimpun Komnas Perempuan (2007) menunjukkan bagaimana kekerasan terhadap tubuh perempuan digunakan sebagai alat politik untuk menghancurkan citra lawan ideologis.

Mereka diperkosa, dilecehkan, bahkan dipaksa mempertontonkan tubuhnya di depan umum. Kekerasan seksual dijadikan propaganda: perempuan “komunis” digambarkan sebagai liar, tak bermoral, dan pantas dihukum. Tubuh menjadi alat dehumanisasi yang efektif karena dengan menghancurkan tubuh perempuan, kekuasaan berhasil menghancurkan simbol keberanian dan martabat lawannya.

Tiga dekade kemudian, Mei 1998 memperlihatkan luka serupa. Ketika Jakarta terbakar oleh kerusuhan dan kemarahan, perempuan Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual massal. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF 1998) mencatat sedikitnya 168 laporan pemerkosaan dan kekerasan seksual—angka yang diyakini hanya sebagian kecil dari jumlah sebenarnya. Banyak korban memilih diam karena trauma, stigma, dan rasa takut.

Tubuh perempuan kembali menjadi alat pelampiasan politik: simbol kehinaan bagi lawan, pelampiasan frustrasi sosial, dan senjata untuk menanamkan rasa takut. Ironisnya, sejarah seperti ini nyaris tak pernah benar-benar diajarkan secara terbuka. Kita sibuk membicarakan moralitas, tapi jarang membahas bagaimana kekuasaan menggunakan tubuh perempuan sebagai senjata propaganda.

Ketika Politik Mengatur Tubuh

Objektifikasi perempuan bukan hanya soal kekerasan fisik, tapi juga penguasaan moral dan simbolik. Pada masa Orde Baru, Ibu Tien Soeharto merupakan figur ibu negara yang kuat dan simbol moralitas keluarga Indonesia dengan melarang pengiriman wakil Indonesia ke ajang Miss Universe. Alasannya sederhana: kontes kecantikan dianggap “tidak sesuai dengan budaya dan kepribadian bangsa.”

Larangan itu berlangsung bertahun-tahun. Di baliknya, ada gagasan tentang moralitas nasional: tubuh perempuan harus dijaga, bukan dipertontonkan. Namun anehnya, tubuh itu juga tetap dimanfaatkan negara sebagai simbol kesopanan dan citra bangsa. Dalam logika Orde Baru, perempuan ideal adalah yang cantik, anggun, setia, dan tunduk pada norma.

Larangan Bu Tien adalah bentuk kontrol negara terhadap tubuh perempuan. Negara menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan atas tubuhnya sendiri. Tapi pada saat yang sama, negara memanfaatkan citra perempuan untuk legitimasi moral kekuasaan. Tubuh dijaga bukan untuk perempuan itu sendiri, melainkan untuk reputasi politik rezim.

Reformasi, Media Sosial, dan Tubuh yang “Bebas”

Setelah Reformasi 1998, segala yang dulu tabu kini berubah menjadi ekspresi kebebasan. Tubuh perempuan muncul di ruang publik: di televisi, panggung kontes kecantikan, hingga media sosial. Body positivity menjadi slogan baru. Influencer dan konten kreator memanfaatkan tubuh sebagai bagian dari branding personal dengan dalih ekspresi diri dan kemandirian.

Namun kebebasan ini membawa paradoks baru. Ketika tubuh menjadi komoditas digital, muncul bentuk eksploitasi yang lebih halus. Perempuan diekspos dalam bingkai “pemberdayaan,” tetapi sesungguhnya kembali dijadikan objek kapitalisme dan politik pencitraan.

Setiap unggahan foto, setiap kontes kecantikan, bahkan setiap perdebatan tentang pakaian perempuan di media sosial seolah menegaskan bahwa tubuh masih menjadi “wilayah publik.” Ia belum sepenuhnya menjadi milik perempuan. Kekuasaan berganti bentuk dari negara ke algoritma, dari moral Orde Baru ke moral engagement rate.

Mak-Mak dan Ironi Pemberdayaan

Ketika sekelompok mak-mak mengancam turun ke jalan dengan gaya ber-BH dan ber-CD, sesungguhnya yang terjadi bukan pemberontakan moral, melainkan ironi. Mereka ingin meniru simbol kebebasan perempuan modern, tapi tanpa sadar justru terjebak dalam pola lama: tubuh sebagai alat politik.

Satirnya, jargon women empowerment kini sering berhenti di kulit luar yaitu pemberdayaan yang diukur dari seberapa terbuka pakaian, bukan seberapa terbuka pikiran. Padahal esensi pemberdayaan perempuan seharusnya ada pada ruang berpikir, bukan sekadar ruang berpakaian.

Perempuan memang berhak mengekspresikan dirinya. Namun ketika ekspresi itu digunakan sebagai alat kampanye, bentuk dukungan politik, atau bahan sensasi di media, maka pemberdayaan bergeser menjadi pertunjukan. Tubuh perempuan kembali menjadi panggung demokrasi yang paling ramai, karena tubuh, sejak dulu, selalu laku dijual: di iklan, di layar kaca, bahkan di jalanan.

Tubuh dan Kekuasaan: Luka yang Tak Pernah Usai

Kisah Gerwani 1965 dan perempuan 1998 seharusnya menjadi pengingat bahwa tubuh perempuan bukan ruang propaganda, bukan komoditas, dan bukan alat politik. Namun sejarah gemar bercanda. Ia berulang, hanya berganti kostum dan narasi.

Dulu perempuan disiksa karena dianggap “tak bermoral,” kini perempuan dirayakan karena dianggap “bebas.” Tapi di balik dua label itu, perempuan tetap dikendalikan oleh tafsir kekuasaan. Dulu tafsir negara, kini tafsir pasar dan algoritma.

Dalam konteks ini, mak-mak yang katanya total dalam berpolitik barangkali tidak sedang berpolitik, melainkan sedang dipolitisasi. Mereka menjadi bagian dari strategi komunikasi politik yang lebih besar: mengalihkan perhatian publik dari substansi ke sensasi. Mereka ingin didengar, tapi yang viral justru tubuh mereka, bukan gagasan mereka.

Penutup: Cermin Tubuh, Bayangan Bangsa

Rosihan Anwar, dalam tulisannya, seolah sudah menuliskan gambaran keadaan kita hari ini, bahwa bangsa Indonesia “dilahirkan dengan naluri politik, dan mati dengan itu pula.” Politik di negeri ini tak lagi berhenti di parlemen atau istana; ia merembes ke layar ponsel, ke ruang keluarga, bahkan ke dalam tubuh perempuan.

Tubuh menjadi simbol sekaligus medan pertempuran antara moral, pasar, dan politik. Ia dijaga, dipuji, dilarang, dan dieksploitasi, bergantung siapa yang sedang berkuasa. Dan di tengah semua itu, perempuan terus menjadi aktor sekaligus korban dari permainan yang sama: permainan tentang siapa yang paling berhak menentukan arti kebebasan.

Ngopi pagi sambil merenung: dari masa ke masa, politik di negeri ini selalu punya selera yang sama, selera terhadap tubuh perempuan. Bedanya hanya baju yang dikenakan: dulu seragam ideologi, kini kebaya digital.

Referensi

1. Rosihan Anwar. “Inlander Dinilai.” Kompas, 4 Desember 2010. (Mengutip pernyataan rohaniwan Belanda: “Inilah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia dilahirkan dengan naluri politik, dan mereka mati dengan itu pula.”)

2. Komnas Perempuan. (2007). Kekerasan Seksual dalam Peristiwa 1965: Fakta dan Kesaksian Perempuan Penyintas.

3. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). (1998). Laporan Investigasi Kekerasan terhadap Perempuan dalam Tragedi Mei 1998.

4. Tempo. (2013). Miss Universe dan Larangan Bu Tien Soeharto: Soal Moral, Budaya, dan Politik Tubuh.

5. Wischer Hulst. Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici. Amsterdam: 1980.

Novita Sari Yahya
Penulis dan peneliti

Pos terkait