Naikkan Harga BBM solusi Penyelamat Rupiah, Apa Bisa?

  • Whatsapp
PENGISIAN BBM MENURUN

Kumbanews.com – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bakal berlangsung lama. Prediksinya, pelemahan ini akan berlangsung hingga Juni 2019.

Pada pekan lalu, rupiah menembus nilai psikologis baru Rp 15.100/US$. Bahkan pada penutupan pasar kemarin (5/10/2018) nilai tukar rupiah sudah menembus Rp 15.175/US$.

Bacaan Lainnya

Untuk penyelamatan rupiah, pemerintah harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum selesai, yaitu defisit di transaksi berjalan (current account). Indonesia tekor dalam hal ekspor-impor barang dan jasa, lebih banyak devisa yang keluar dibandingkan yang masuk. Akibatnya rupiah kekurangan pijakan untuk menguat.

Beban paling berat di transaksi berjalan adalah neraca migas. Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit US$ 8,03 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 2,75 miliar atau 34,23% disumbang oleh defisit di neraca migas.

Ke depan, defisit neraca migas berpotensi membengkak karena harga minyak dunia yang semakin mahal. Pada pukul 15:19 WIB, harga minyak jenis brent tercatat US$ 86,19/barel. Ini merupakan yang tertinggi sejak 2014.

Potensi harga minyak untuk terus naik masih cukup besar karena kian dekatnya pemberlakuan sanksi baru AS kepada Iran yaitu pada 4 November. Saat itu, Iran akan sulit mengekspor minyaknya karena blokade Negeri adidaya.

Pasokan minyak dari Iran akan absen di pasar dunia sementara Negeri Persia adalah produsen minyak terbesar ketiga di antara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Artinya, ketidakhadiran Iran akan sangat mempengaruhi pasokan minyak di pasar global.

Dengan status Indonesia sebagai negara net importir migas, harga minyak yang kian mahal tentu akan memberatkan. Nilai impor akan membengkak padahal volume yang diimpor mungkin tidak naik.

Idealnya memang Indonesia perlu menambah pasokan minyak di dalam negeri agar tidak terlalu bergantung kepada impor. Eksplorasi sumur-sumur minyak baru, peningkatan produksi dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR), sampai membangun fasilitas kilang dan penyimpanan (storage) agar impor Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa ditekan.

Namun langkah-langkah itu perlu waktu, tenaga, dan tentunya biaya. Bahkan mungkin membutuhkan impor bahan baku dan barang modal sehingga tekanan di transaksi berjalan malah bertambah.

Tim riset Bank Mandiri memproyeksikan, kas keuangan Pertamina akan tertekan sebesar Rp 2,8 triliun untuk setiap US$ 1 kenaikan harga minyak dunia. Ini belum memperhitungkan dampak depresiasi nilai tukar.

Setiap Rp 100 depresiasi rupiah terhadap dolar AS, kerugian operasional perusahaan pelat merah tersebut diperkirakan mencapai Rp 1,6 triliun.

Dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan pendapatan perusahaan migas pelat merah tersebut tergerus sebesar Rp 26,30 triliun akibat selisih Harga Jual Eceran (HJE) formula dengan HJE penetapan pemerintah atas penyaluran jenis bahan bakar tertentu solar/biosolar dan Jenis bahan bakar khusus penugasan di 2017.

Mudahnya adalah, selisih harga BBM yang dijual pemerintah dan harga pasar.

“Harga Jual Eceran pemerintah atas penyaluran jenis bahan bakar tertentu solar/bio solar dan bahan bakar khusus penugasan tahun 2017 lebih rendah dari formulasi membebani PT Pertamina sebesar Rp 26,30 triliun dan AKR sebesar Rp 259 miliar,” tulis ikhtisar laporan BPK sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, Selasa, (2/10/2018).

Alhasil, di 2017 lalu laba BUMN migas terbesar RI ini pun merosot 23% dibanding 2016. Jadi US$ 2,41 miliar dari US$ 3,15 miliar yang pernah dicapai di tahun sebelumnya.

Sementara di 2018, dengan kebijakan dan kondisi serupa yakni harga minyak dunia naik sementara harga BBM tidak bisa disesuaikan, kondisi keuangan Pertamina juga sudah bikin ketar ketir.

Pos terkait