TAHUN 2020 ini ditandai dengan pencabutan aneka subsidi. Yang terbaru adalah pencabutan subsidi elpiji 3 kg alias elpiji melon. Sempat direncanakan, dan sekarang dikaji ulang.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengubah skema subsidi harga gas elpiji melon mulai semester II 2020. Harga elpiji akan disesuaikan dengan harga pasar, sekitar Rp 35.000 per tabung. Masyarakat miskin akan menerima kompensasi dalam bentuk uang atas selisih kenaikan harga gas tersebut.
Subsidi, Hanya Pemanis Bibir
Dulu, rezim ini mencitrakan dirinya pro wong cilik. Namun hari demi hari berlalu, justru makin tampak jelas kezalimannya. Tak hanya subsidi elpiji melon, aneka subsidi lainnya juga dicabut.
Tahun ini pemerintah juga mencabut subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA) Rumah Tangga Mampu (RTM). Tarif listrik golongan pelanggan itu akan disesuaikan dengan golongan pelanggan non subsidi.
Ini sesuai dengan keputusan pemerintah untuk memangkas subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 menjadi Rp. 137,5 triliun. Angka ini turun sekitar 3,58 persen dari alokasi subsidi energi di 2019 yang mencapai Rp142,6 triliun.
Pada periode sebelumnya, rezim ini telah mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi di bidang kesehatan juga dikurangi, wujudnya adalah melalui kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Pemerintah resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen pada Kamis (24/10/2019). Kenaikan iuran itu berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.
Aneka pencabutan subsidi tersebut menunjukkan bahwa negara makin berlepas tangan terhadap kesejahteraan rakyat.
Rakyat disuruh untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Mayoritas layanan negara kini berbayar. Padahal rakyat telah menyerahkan tambangnya, lautnya, hutannya, migasnya, pajaknya dan lain-lain agar dikelola negara demi kesejahteraan rakyat.
Nyatanya, subsidi menjadi pemanis bibir saja. Menjadi bahan kampanye untuk memikat rakyat guna meraup suara. Namun, tak benar-benar menjamin kebutuhan rakyat. Justru dengan berbagai kenaikan tersebut, ladang usaha rakyat jelata yakni UMKM akan sangat terdampak dan bahkan bisa gulung tikar.
Mirisnya, di saat rakyat kecil dipangkas subsidinya, pengusaha konglomerat diguyur dengan subsidi triliunan. Pada tahun 2017, lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp 7,5 triliun.
Dilansir CNNIndonesia.com, Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp 4,16 triliun. Padahal, setoran yang diberikan Wilmar Group hanya senilai Rp 1,32 triliun. Ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih pro pada korporasi daripada terhadap wong cilik.
Demikianlah konsep subsidi dalam sistem ekonomi kapitalis yakni hanya sebagai peredam gejolak rakyat, bukan benar-benar untuk menjamin kebutuhan rakyat.
Kalangan ekonom neoliberalisme memandang pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, yaitu negara harus menggunakan prinsip untung-rugi dalam penyelenggaraan bisnis publik.
Subsidi dianggap pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme ini kemudian menjadi hegemoni global melalui tiga aktor utamanya: WTO, IMF dan Bank Dunia.
Bank Dunia dan IMF terkenal dengan program SAP (Structural Adjustment Program) yang berbahaya. Salah satunya adalah penghapusan subsidi. Hegemoni neoliberalisme inilah alasan mengapa pemerintah sering mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat.
Mekanisme Subsidi yang Seharusnya
Subsidi boleh dilakukan karena termasuk pemberian harta milik negara kepada rakyat. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka.
Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk bagi petani. Atau subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan.
Subsidi boleh juga diberikan untuk sektor pelayanan publik yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang.
Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum.
Dalam distribusinya kepada rakyat, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu. Negara dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya.
Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan.
Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh.
Negara boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula negara mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya.
Semua ini adalah hak negara demi kemaslahatan rakyat.
Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi.
Hal ini untuk mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu. Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat.
Karena itu, jika pembiayaan negara untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi maka subsidi menyeluruh untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya.
Demikianlah konsep subsidi yang seharusnya. Yaitu benar-benar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan sekadar pemanis bibir.
Ragil Rahayu, SE
Pemerhati ekonomi, member Komunitas Revowriter.