Oleh: Novita Sari Yahya
Seorang pemenang pemilihan nasional dari ajang pageant terbesar dunia kini tengah menjadi sorotan. Dengan lisensi senilai Rp2 miliar, ajang ini disaksikan ratusan juta orang melalui televisi, media sosial, dan platform digital.
Namun, ketika menelusuri akun media sosial sang pemenang, hampir 80 persen konten menampilkan pakaian bikini two-piece yang nyaris menyatu dengan kulit, sesuai definisi nudis dalam UU Pornografi dan Pornoaksi. Video pesta dengan konsumsi tequila dari berbagai merek juga banyak diunggah. Di sisi lain, media menekankan citra “pemberdayaan perempuan”, etika berkebudayaan, dan kepribadian Indonesia.
Pertanyaan muncul: Apakah media benar-benar meninjau akun Instagram sang pemenang yang dapat diakses anak-anak dan remaja? Apakah juri memperhatikan fakta ini? Apakah perempuan yang berpakaian minim dan mengonsumsi alkohol pantas mewakili Indonesia, negara dengan mayoritas Muslim?
Lisensi senilai Rp2 miliar dibeli oleh perusahaan asing, dan lebih mengkhawatirkan jika pemilik lisensi juga merupakan sponsor pabrik minuman keras. Bagaimana pandangan dunia jika Indonesia diwakili ikon gaya hidup pesta yang bertentangan dengan jargon pemerintah tentang kebudayaan dan kepribadian Indonesia?
Sejarah menunjukkan ketegangan serupa. Pada era Soekarno, transparansi pers ditegaskan dengan istilah “you can see”. Orde Baru membatasi ajang yang menampilkan bikini, sementara pasca-Reformasi, tren pop culture seperti bikini dan pesta menjadi dominan. Sang pemenang bahkan mengusung jargon “hidup sehat”, yang sulit diselaraskan dengan konsumsi alkohol, khususnya tequila, yang memiliki dampak jangka pendek maupun panjang bagi kesehatan.
Kritik ini memunculkan pertanyaan besar: Apa kata dunia? Ke mana reputasi perempuan Indonesia dibawa? Apakah juri dan media mengabaikan fakta ini demi kepentingan bisnis?
Respons Netizen
Tulisan ini menimbulkan diskusi luas di platform X (sebelumnya Twitter), terutama terkait objektifikasi perempuan dan pengaruh globalisasi. Reaksi netizen terbagi menjadi dua kelompok:
Pendukung Kritik Sosial
Netizen mengapresiasi keberanian menyoroti kontradiksi antara citra pemberdayaan dan praktik glamor di media sosial. Pakaian minim di sesi swimsuit dianggap simbol reduksi tubuh perempuan menjadi objek penilaian. Diskusi ini viral di kalangan aktivis muda, yang menekankan potensi pageant sebagai platform merangkul keberagaman dan solidaritas antar-perempuan.
Penentang dan Tuduhan Moralis
Sebagian netizen menilai tulisan ini provokatif karena menyoroti glamor, alkohol, dan pakaian minim yang bertentangan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Kekhawatiran utama adalah pengaruh negatif terhadap anak muda, dengan permintaan bukti konkret meski analisis didasarkan pada data publik yang diverifikasi.
Secara keseluruhan, tulisan ini diapresiasi karena menekankan nilai yang diwakili peserta, bukan sekadar popularitas atau prestasi. Diskusi di X (2024–2025) menunjukkan netizen semakin kritis, menuntut representasi yang mencerminkan budaya multietnis Indonesia.
Jejak Sejarah dan Relevansi Budaya
Sejarah pageant di Indonesia penting sebagai konteks. Dari transparansi pers era Soekarno, pembatasan bikini oleh Orde Baru, hingga tren globalisasi pasca-Reformasi, terlihat kontradiksi antara jargon “pemberdayaan etika” dan glamor.
Perspektif Media
Beberapa artikel media memperkaya diskusi, menyoroti kontroversi kriteria penilaian, pengaruh sponsor asing, dan klaim pemberdayaan yang sering bertentangan dengan budaya lokal:
1. Kontes Kecantikan Indonesia: Antara Kontroversi dan Jargon Pemberdayaan (Timelines.id)
2. Kontroversi Beauty Pageant dalam Perspektif Konstruksi Sosial Keperempuanan Indonesia (Potret Online)
3. Mengintegrasikan Pendidikan Kebangsaan Indonesia dalam Pelatihan Beauty Queen yang Berbudaya dan Berkepribadian Indonesia (Potret Online)
4. Pelatihan dan Pendidikan Beauty Queen yang Berbudaya dan Berkepribadian Indonesia (Berita5.co.id)
5. Kontes Kecantikan Indonesia di Antara Kontroversi dan Jargon Pemberdayaan (Koran Nusantara)
Tulisan-tulisan ini menegaskan bahwa pageant harus selaras dengan pendidikan kebangsaan, bukan sekadar hiburan global.
Refleksi Akhir
Tulisan ini menyoroti kontradiksi antara narasi media dan realitas sosial, glamor dan moral. Netizen Indonesia semakin kritis, menuntut representasi yang mencerminkan budaya dan pemberdayaan perempuan: “Kamu perempuan kalau bisa, sebisa mungkin pintar dalam segala hal.”
Pertanyaan tetap: Sejauh mana juri, sponsor, dan media mempertimbangkan budaya lokal? Diskursus ini menjadi cermin era digital, di mana pageant bisa menjadi katalis perubahan dengan misi pemberdayaan perempuan yang konsisten dan inklusif.
Referensi
UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39248/uu-no-44-tahun-2008
Dokumentasi media sosial peserta (publik)
Arsip sejarah: Kebijakan Orde Baru (ejournal.unesa.ac.id)
Opini netizen dari X (2024–2025)
Artikel media terkait (Timelines.id, Potret Online, Berita5.co.id, Koran Nusantara)
*Penulis, Peneliti, & National Director Indonesia 2023–2024