Kumbanews.com – Pulau Bali sangat lekat dengan payudara wanita. Bukan karena di Bali banyak turis asing yang berjemur dengan pakaian minim, atau berjalan-jalan dengan pakaian seadanya, bukan. Tapi memang pada tahun 1950-an pakaian adat bagi wanita Bali tidak mengenal penutup dada. Sesuai dengan adat tradisi yang dianut, semua wanita Bali tampil telanjang dada.
Dahulu, pakaian adat masyarakat Bali tidaklah sama dengan yang dilihat sekarang. Pakaian yang digunakan oleh masyarakat Bali hanya penutup badan sederhana. Baik kaum laki-laki maupun wanita menggunakan kemben seperti rok. Wanita Bali tidak menutup bagian atas dadanya alias bertelanjang dada. Bagian rambut sangat klimis karena diolesi minyak kelapa. Beberapa kuntum bunga disematkan di rambut dan telinga.
Pemandangan seperti menjadi hal wajar kala itu. Masyarakat Bali mulai mengenal pakaian setelah Bali mulai dikenal dunia sebagai tujuan destinasi wisata. Miguel Cavarrubias dalam artikel yang berjudul Bali Binasa: Sebuah Spekulasi menjelaskan bagaimana masyarakat Bali mulai mengenal baju dalam kesehariannya. Pemerintah Kolonialisme Belanda di Buleleng adalah yang mengeluarkan aturan setiap wanita Bali harus menggunakan baju.
Aturan tersebut dikeluarkan pada tahun 1848 untuk memproteksi moral tentara Belanda yang bertugas di Bali. Sejak itu istri-istri pangeran Bali mengenakan baju yang sontak menjadi inspirasi gaya berpakaian yang pantas. Tiga tahun setelah aturan tersebut dikeluarkan, tidak ada lagi wanita Bali yang keluar rumah dengan tanpa menggunakan kain atasan.
Kebiasaan wanita Bali yang tidak mengenakan pakaian berakhir pada tahun 1990-an. Sekarang, wanita-wanita Bali yang tidak menutupi bagian atas dadanya dianggap sebagai orang gunung yang tidak beradab. Tanpa disadari hal ini turut mempengaruhi kebiasaan kaum laki-laki di Bali, hingga akhirnya terciptalah pakaian adat Bali seperti yang dikelan saat ini.
Bagi anda yang penasaran seperti apa gaya berpakaian wanita-wanita Bali saat masih belum mengenal penutup dada dapat dilihat di Museum Blanco yang terletak di Ubud, Bali. Museum yang didirikan oleh seniman asal Spanyol bernama Antonio Blanco ini berisi lukisan-lukisan para perempuan Bali tempo dulu. Antonio diberikan sepetak tanah oleh Raja Bali kala itu yang digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus studio lukis.
Antonio meninggal pada tahun 1999, dan kini Museum Blanco berada di bawah pengelolaan anaknya, Mario Blanco. Museum ini berusaha menciptakan atmosfer Bali yang asli. Lukisan-lukisan wanita Bali digambar dalam pose yang beragam, ada yang menari, tidur, bahkan bermasturbasi.
Dijelaskan oleh Mario, lukisan-lukisan tersebut tidak dibuat dengan sengaja untuk menonjol keindahan tubuh wanita. Ia mengatakan, ayahnya hanya mengabadikan budaya Bali kala itu.
Atas nama pelestarian budaya Bali, Antonio dahulu memutuskan untuk karyawan-karyawannya yang wanita tidak perlu mengenakan penutup dada saat bekerja di Museum Blanco. Namun karena ada suatu insiden, akhirnya diputuskan wanita untuk mengenakan kemben saat ada tamu yang berkunjung. Kini di bawah pengelolaan Mario, sejak tahun 1999 semua karyawan wanita sudah memakai kebaya khas Bali. []