Kumbanews.com – Pakar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyebut masyarakat internasional mempertanyakan keberadaan kapal-kapal TNI di zona ekonomi eksklusif (ZEE) di laut utara Natuna.
Menurutnya di wilayah ZEE biasanya cukup ada kapal sipil.
“Orang banyak yang kaget, kok Angkatan Laut banyak di ZEE karena biasanya itu kan kapal sipil (yang ada di situ),” kaya Hikmahanto saat diskusi soal Natuna di Jakarta Pusat, Minggu (12/1).
Hikmahanto mengatakan wilayah kedaulatan yang mestinya dijaga oleh kapal TNI berada di zona 12 mil dari pantai. Sementara ZEE adalah zona ekonomi tempat suatu negara mengambil sumber daya alam. Zona ini berada sepanjang 200 mil dari bibir pantai.
China sendiri kata Hikmahanto, justru hanya mengerahkan kapal-kapal nelayan yang didampingi kapal coast guard.
Tapi, di lain pihak Indonesia justru mengerahkan langsung kapal perang atau kapal-kapal TNI dalam upaya mengusir kapal di wilayah yang masuk dalam ZEE Indonesia itu.
“China pakai coast guard, tapi Indonesia siagakan kapal Angkatan Laut, jelas timbulkan pertanyaan,” katanya.
Namun, Hikmahanto sendiri mengaku cukup mafhum dengan kejadian ini. Sebab kata dia sebagai orang Indonesia dia tahu pasti bagaimana keadaan keamanan laut yang dibawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Kata dia, kapal coast guard yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) tak sebanding dengan kapal coast guard milik China.
Yang bisa mengimbangi kapal penjaga pantai China menurutnya adalah kapal-kapal perang milik TNI.
“Kalau mau tandingi China, coast guard ini ya kapal TNI AL. Tapi dunia internasional pandang ini aneh, kok kapal militer di situ,” kata dia.
Hikmahanto menyarankan ada beberapa upaya untuk menjaga ZEE di utara Natuna dari aksi pencurian ikan.
Salah satu cara terbaik dan tercepat kata Hikmahanto yakni dengan memperbanyak nelayan Indonesia yang beroperasi dan melaut di wilayah Natuna, yang juga telah dilakukan China saat ini.
“Kita sekarang banyak-banyakan nelayan yang ada di sana. Kita dengan China dan Vietnam dan sebagainya kita harus banyak-banyakan menghadirkan nelayan di Natuna,” katanya.
Meski begitu, Hikmahanto juga mengingatkan agar nelayan yang nantinya dikirim untuk melaut di wilayah tersebut tetap bisa melindungi keberlangsungan sumber daya alam di laut Natuna.
Tak hanya memperbanyak nelayan, Hikmahanto juga menyarankan agar pemerintah memperkuat patroli Bakamla dan Kapal KKP. Hal ini dilakukan demi menjaga para nelayan Indonesia sekaligus menindak kapal-kapal milik nelayan asing yang menangkap ikan secara ilegal di wilayah ZEE dan perairan Natuna.
“Karena nelayan-nelayan kita yang dari Natuna itu mereka komplain kami (nelayan) ini diusir-usir sama coast guard China,” kata dia.
Sementara jika para nelayan tradisional asal Indonesia melakukan pengusiran terhadap kapal China yang mengambil ikan di wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna, langsung didekati oleh coast guard China dan menindak para nelayan tradisional ini.
Cara lainnya kata Hikmahanto yang bisa dilakukan adalah tetap konsisten untuk tidak mengakui dasar hukum China yang berpegang teguh pada aturan sembilan garis putus-putus milik mereka.
“Jadi itu harus terus (tidak diakui) karena apa? Kita akan dicoba terus, dengan harapan kita lupa. Nah kita harus konsisten menjaga itu,” jelas Hikmahanto.
Apalagi kata dia kebijakan sembilan garis putus-putus China sejatinya sudah tidak diakui oleh masyarakat Internasional. Dia juga menyebut bahwa apa yang terjadi di Natuna Utara saat ini merupakan persoalan sumber daya alam, bukan kedaulatan.
“Ini kan sebenarnya ‘sengketa’ masalah perikanan, sumber daya alam. Kok tiba-tiba dieskalasi menjadi masalah kedaulatan,” kata Hikmahanto.(*)