Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
Tak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Itulah politik.
Lalu, benarkah PDI Perjuangan mau meninggalkan Presiden Joko Widodo di tengah arena alias “tinggal glanggang colong playu” seperti sinyalemen seorang pengamat?
Digambarkan, PDIP sedang bersiap membuka pintu darurat atau emergency exit bilamana pesawat yang sedang dipiloti Presiden Joko Widodo mendarat darurat atau crash landing, sehingga PDIP dapat melompat dengan selamat.
Disebutkan, penyebab pesawat crash landing adalah pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19.
Tanda-tanda ke arah PDIP mau melompat,katanya, ialah serangan kader-kader muda PDIP di DPR, yang merupakan second layer atau lapis kedua, terhadap pemerintah.
Misalnya Masinton Pasaribu yang mempersoalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020.
Juga Adian Napitupulu yang terlibat polemik dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir soal mafia impor alat kesehatan (alkes), serta Arteria Dahlan yang mengisyaratkan ada “presiden di atas presiden”, ada yang lebih berkuasa daripada penguasa.
Benarkah PDIP hendak “tinggal glanggang colong playu”? Sikap politik PDIP bergantung sikap ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri.
Sebab, tipe kepemimpinan Megawati di PDIP adalah kharismatik, sebagaimana mendiang ayahnya, Soekarno.
PDIP, meski kerap mengklaim sebagai partai politik modern, tapi sesungguhmya pengikutnya adalah massa tradisional yang punya ikatan ideologis dan emosional dengan Bung Karno dan keturunannya.
Maka apa kata Megawati, itulah yang mereka laksanakan. Sikap para pengurus PDIP pun setali tiga uang, mulai dari Ranting, PAC, DPC, DPD hingga DPP, akan yes woman.
Baca: Eks Kompolnas Komentari Penunjukan Irjen Boy Rafli Sebagai Kepala BNPT
Terbukti, Mega selalu terpilih secara aklamasi dalam setiap Kongres PDIP.
Dilihat dari karakter Mega, tampaknya akan sulit bagi istri mendiang Ketua MPR Taufiq Kiemas ini untuk meninggalkan Jokowi di tengah jalan, di arena pertarungan politik di tengah wabah Covid-19 alias “tinggal glanggang colong playu”.
Mega bukan tipe pengkhianat. Malah Mega yang sering dikhianati.
Ketika partainya menang Pemilu 1999, tapi “dikhianati” Amien Rais dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sehingga Gur Dur yang menjadi Presiden, Mega cukup legawa menjadi Wakil Presiden.
Ketika Gus Dur dijatuhkan Ketua MPR Amien Rais, Mega tidak langsung mengiyakan ketika diminta menggantikan Gus Dur.
Ketika tak ada jalan lain, Gus Dur harus jatuh dan secara konstitusional yang harus menggantikan dirinya, baru Mega menyatakan setuju di detik-detik terakhir. Itu pun setelah “dirayu” suaminya, Taufiq Kiemas.
Prioritas Mega adalah keselamatan bangsa dan negara. Itulah mengapa pada 1999 ia meredam massa pendukungmya yang mau “ngamuk” untuk menerima hasil Sidang Umum MPR yang menempatkan dirinya hanya sebagai Wapres.
Ketika “dikhianati” Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu menterinya, sehingga ia dikalahkan SBY dalam Pilpres 2004, Mega pun mau menerima hasil pemilu.
Itulah pilitik, tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi kepentingan.
Mega pun tak pernah merecoki SBY hingga dua periode pemerintahannya. Mega konsisten di jalurnya sebagai oposisi loyal. Sebab Mega memang konstitusionalis sejati.
Di sisi lain, Jokowi adalah anak ideologis kesayangan Mega.
Kalau tidak sayang, bagaimana mungkin Mega mencalonkan Jokowi sebagai Walikota Surakarta, kemudian membawa Jokowi dari Solo ke Jakarta, lalu dari Gubernur DKI Jakarta ke kursi RI-1?
Bukankah Jokowi bukan siapa-siapa di PDIP, sehingga kalau mau Mega bisa saja maju sendiri pada Pilpres 2014?
Karena rasa sayangnya itulah maka nyaris mustahil Mega akan membiarkan Jokowi jatuh di tengah jalan, apalagi menggembosinya.
Di sisi lain, Mega mempertimbangkan keselamatan bangsa dan negara bilamana Jokowi jatuh di tengah jalan.
Mega tak mungkin mau mengambil keuntungan politik di tengah terancamnya keselamatan bangsa.
Bahwa kadang-kadang Megawati mengalami kekecewaan terhadap Jokowi, itu wajar-wajar saja sebagai dinamika politik.
Tapi Mega pun sadar, kue kekuasaan yang tersedia di meja Jokowi memang tak cukup memuaskan semua pihak.
Sisi lain lagi, pemerintahan Jokowi identik dengan PDIP, karena partai berlambang banteng ini pemegang saham mayoritas.
Kemenangan PDIP juga identik dengan kemenangan Jokowi yang “dijual” PDIP dalam kampanyenya.
Jadi, kalau Jokowi jatuh, otomatis citra PDIP juga jatuh, sehingga posisinya terancam pada Pemilu 2024. Sebaliknya, Jokowi tidak pumya beban karena ia tak bisa maju lagi di Pilpres 2024. Jokowi dan PDIP adalah dua sisi dari satu mata uang.
Di saat bangsa ini sedang terkena musibah wabah Covid-19, seyogyanya semua elemen bangsa bersatu padu melawan Corona, menjadikan virus mematikan itu sebagai common enemy (musuh bersama), bukan malah berpikir jatuh-menjatuhkan pemerintah.
Siapa pun presidennya, akan kocar-kacir menghadapi Corona. Lihat itu Presiden Amerika Serikat Donald Trumph.
Alhasil, serangan-serangan kader-kader PDIP di DPR terhadap pemerintahan Presiden Jokowi tak lebih dari gimmick politik atau hanya riak-riak kecil di dalam samudera politik Tanah Air.
Serangan-serangan itu hanya badai kecil di dalam gelas.
Bahwa serangan-serangan itu dapat menaikkan bargaining pisition atau posisi tawar PDIP terhadap Jokowi, mungkin iya.
Tapi untuk menjatuhkan Jokowi, masih jauh panggang dari api. Belanda masih jauh, Bung!
*) Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.