PEMILIK KEBENARAN

  • Whatsapp

JURNALIS bukan pemilik kebenaran, dengannya tak perlu jumawa dan angkuh seakan memiliki hak untuk menjatuhkan vonis dan pemutus status benar salah. Jurnalis hanya memiliki fakta yang bisa disodorkan untuk publik memberi penilaian salah benar.

Menyuguhkan rangkaian fakta adalah tugas seorang jurnalis dan medianya melalui pemberitaan. Untuk itu jurnalis harus bersih dari niat buruk, semisal menulis karena benci, menulis karena dendam. “Separuh kebenaran bukanlah kebenaran” menuliskan satu dan menyembunyikan lainnya atau sengaja tidak mau memasukkan fakta lain, masuk kategori pelanggaran kode etik. Hanya dua kemungkinan menyembunyikan atau tidak menyebutkan dalam berita itu karena iri hati, dengki, dendam atau sakit jiwa. Jurnalis jenis ini saya kategorikan sebagai pewarta ‘asal jadi’ maksudnya beritanya asal jadi. Juga tak layak menjadi jurnalis, karena tidak jujur, atau punya motif lain tersembunyi.

Bacaan Lainnya

Menghadapi 27 jurnalis dari 25 media berbeda, memang bukan perkara gampang, terlebih jurnalis yang ada di hadapan saya ini berkategori kritis. Dalam benak mereka berita itu hanya ditulis jika terbukti faktanya menyimpan potensi pelanggaran. Saya memicu diskusi jurnalis kritis itu dengan kalimat “Jurnalis bukan pemilik kebenaran.” Maka sangat tidak etis jika dengan pongah menyebutkan seseorang juga instansi telah melakukan perbuatan melawan hukum semisal (korupsi). Jikalau saja sejumlah temuan fakta mengarah pada hal itu, jurnalis harus menemukan fakta opini yang tepat, dengan syarat normatif berdasarkan ketentuan teoritik.

Jangan menjadi jurnalis yang hanya bisanya ‘beronani’ (memuaskan diri sendiri), tugas jurnalis adalah memuaskan pembaca beritanya. Mengapa para guru kami baik di ruang belajar maupun ruang kerja redaksi kerap marah dan kecewa, karena jurnalis didikannya ‘sibuk sendiri’ beropini dengan pikirannya, malas berdiskusi, suka memihak, jika bertalenta cerdas, namun sombong dan tidak mau menerima saran, hati-hati boleh jadi penyakit ‘dominasi kebenaran’ sudah merasuk dalam jiwanya. Jenjang karir itu ditapaki dengan bertahap, tetapi era media online ini sudah tidak terelakkan, maka seorang yang baru saja masuk dalam dunia media bisa disulap menjadi jurnalis, redaktur, bahkan pemilik media.

Untuk apa berita itu ditulis, untuk dibaca. Untuk apa berita itu dibaca, agar masyarakat tercerdaskan, terdidik, terhindar dari bahaya. Pertanyaannya bisakah berita mencerdaskan dan mencerahkan, jika jurnalisnya berhati kotor? Jawabnya mustahil. Alih-alih mencerdaskan berita yang faktanya dipilih sesuai selera dan kepentingan jurnalis hanya akan ‘membodohi’ menipu pembaca (masyarakat). “Half truth is not truth” kata Benjamin Franklin. Franklin adalah seorang tokoh Amerika Serikat yang terkenal dan telah meninggalkan banyak karya di dalam hidupnya. Franklin adalah orang dengan banyak jenis pekerjaan dan seorang negarawan, diplomat, penulis, ilmuwan dan penemu, salah satu orang paling serba bisa dan berbakat di Amerika. Sindiran Franklin ini mengenai banyak jurnalis masa kini di era digital.

Dialog kami berjalan “Apa adanya”, bukan seperti sindiran lain pada jurnalis yang kerap disematkan kalimat “Menulis karena ada apa-apanya”. Saya memohon maaf pada Ir. Muhammad, juga teman-teman jurnalis hebat di hadapan saya. Karena salah satu diantara mereka menyebutkan istilah ” Wartawan pelat merah” maksudnya wartawan dan medianya dipelihara pemerintah, diarahkan menulis sekehendak pejabat pemerintah. Ada juga medianya dikontrak beberapa juta hanya untuk menjadi tempat pelemparan rilis. Apakah salah, Sayan katakan tidak semuanya salah, asal jurnalis dan pemilik media ingat bahwa jurnalis secara etika profesi, harus berpihak pada kebenaran. Selamat berakhir pekan.

Tanjung Bira 1 Desember 2023
Zulkarnain Hamson

Pos terkait