Perempuan Tanpa Mahkota: Menginspirasi dan Mengubah Dunia

Ilustrasi

Oleh: Novita Sari Yahya 

Makna Perempuan Tanpa Mahkota

“Perempuan tanpa mahkota” adalah mereka yang dihormati karena kontribusi nyata, bukan karena popularitas atau sorotan media. Mereka menginspirasi masyarakat lewat pengabdian tulus, bukan sekadar citra diri. Dalam sejarah Indonesia, banyak perempuan yang dikenang karena perjuangan mereka di bidang pendidikan, kemerdekaan, hingga keadilan sosial.

Di era digital saat ini, ketika media sosial sering menjadi tolok ukur ketenaran, sosok-sosok ini mengingatkan kita bahwa kontribusi nyata jauh lebih berharga daripada popularitas sesaat. Nilai-nilai abadi yang mereka perjuangkan tidak bisa digantikan oleh sekadar like atau share.

Pahlawan Perempuan dalam Sejarah Indonesia

Sejarah mencatat banyak perempuan yang berjuang tanpa “mahkota digital”. Keberanian mereka melampaui batas waktu dan teknologi:

Cut Nyak Dhien (1848–1908) memimpin perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda selama 25 tahun. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1964.

R.A. Kartini (1879–1904) memperjuangkan pendidikan perempuan melalui surat-suratnya yang kemudian diterbitkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Rohana Kudus (1884–1972), jurnalis perempuan pertama Indonesia, mendirikan surat kabar Soenting Melajoe dan sekolah Kerajinan Amai Setia. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 2019.

Rasuna Said (1910–1965), orator ulung dari Sumatera Barat, vokal menyuarakan hak perempuan dan menentang kolonialisme. Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan pada 1974.

Marsinah (1969–1993), aktivis buruh dari Sidoarjo, dibunuh karena memperjuangkan upah layak. Kematian tragisnya menjadi simbol perlawanan buruh pasca-Orde Baru.

Mereka dihormati bukan karena sorotan media, tetapi karena dampak nyata perjuangan yang hingga kini masih menjadi fondasi kesetaraan.

Perempuan Akar Rumput: Penjaga Lingkungan dan Budaya

Selain tokoh sejarah, banyak perempuan di tingkat lokal yang mengabdi untuk masyarakat, lingkungan, dan budaya:

Nukila Evanty, aktivis HAM dan lingkungan di Maluku, berani menentang proyek perusakan ekosistem, termasuk kasus eksploitasi lahan adat Akit pada 2025.

Putri Lisya, pendiri Ecosociopreneur Institute dan pemimpin Indonesia Grassroots Accelerator 2024, melatih ratusan pemuda desa dalam pengelolaan sumber daya alam.

Neneng Rosdiyana, ibu rumah tangga dari Tangerang Selatan, menciptakan gerakan Nenengisme melalui fanpage Facebook. Dengan berbagi aktivitas sehari-hari di kelompok tani, ia mendorong pemberdayaan perempuan akar rumput hingga memiliki puluhan ribu pengikut.

Selain itu, UNDP Indonesia meluncurkan inisiatif pada Juli 2025 untuk memperkuat peran perempuan pembela lingkungan, khususnya di wilayah pesisir yang terancam perubahan iklim.

Peran perempuan lokal, termasuk para lansia yang menjaga kebijaksanaan tradisional, menunjukkan bahwa ketahanan budaya sering kali bertumpu pada mereka.

Pergeseran Ketenaran di Era Digital

Media sosial menggeser standar ketenaran dengan menonjolkan jumlah pengikut, filter, atau citra tubuh. Sebuah studi (JMIR Human Factors, 2024) menunjukkan paparan TikTok meningkatkan ketidakpuasan citra tubuh di kalangan Gen Z Indonesia.

Industri influencer bahkan mencatat transaksi miliaran rupiah setiap tahun, memisahkan popularitas virtual dari kontribusi nyata. Dalam konteks ini, sosok seperti Nukila Evanty memberikan teladan bahwa integritas dan pengabdian jauh lebih penting daripada sekadar angka pengikut.

Dari Ibuisme Negara ke Branding Modern

Penampilan perempuan selalu menjadi konstruksi sosial yang berubah mengikuti zaman. Julia Suryakusuma dalam State Ibuism (2011) menulis bagaimana rezim Orde Baru mendorong citra “ibu ideal” melalui organisasi seperti PKK dan Dharma Wanita.

Kini, konstruksi itu bermetamorfosis di media sosial, di mana algoritma memperkuat standar kecantikan tertentu. Konten visual sering menggeser makna pemberdayaan menjadi sekadar hiburan atau satire, memunculkan dilema etis di masyarakat multikultural seperti Indonesia.

Kontroversi Representasi di Media Sosial Global

Konten perempuan Indonesia yang viral di media sosial internasional kadang memicu kontroversi, misalnya ketika pakaian atau gaya hidup dianggap tidak sesuai norma budaya. Perdebatan ini menyoroti perbedaan tipis antara pemberdayaan dan eksploitasi, serta menegaskan pentingnya representasi yang adil di ruang digital global.

Media Sosial untuk Aktivisme dan Edukasi

Meski penuh risiko, media sosial juga membuka ruang advokasi. Banyak organisasi memanfaatkannya untuk isu hak perempuan, lingkungan, hingga kesehatan publik. Namun, perlu keseimbangan: konten edukatif harus tetap fokus pada dampak nyata, bukan hanya tampilan visual.

Mengukur Keteladanan: Pengabdian vs Popularitas

Menilai keteladanan tidak cukup dari jumlah pengikut atau sorotan media. Influencer bisa terkenal tanpa kontribusi signifikan. Sebaliknya, tokoh seperti Marsinah atau Neneng Rosdiyana membuktikan bahwa pengabdian nyata memberi dampak yang bertahan lama.

Di sinilah peran media massa menjadi penting: mengangkat kisah perempuan yang benar-benar mengubah masyarakat, bukan sekadar wajah yang viral.

Daftar Referensi

BincangPerempuan.com. (2024, November). Belajar Gerakan Perempuan Akar Rumput dari Nenengisme. https://bincangperempuan.com/belajar-gerakan-perempuan-akar-rumput-dari-nenengisme/

Bisnis.com. (2025, Juli 31). Rohana Kudus: Jurnalis Perempuan Pertama dan Pejuang Pendidikan Wanita Indonesia.

IDN Times. (2025, September 22). Biografi Rasuna Said, Pahlawan yang Lawan Penjajah Lewat Tulisan.

Jawapos.com. (2025, Juli). Jadi Dewan Direktur Internasional CBD, Budayawan Nukila Evanty Perjuangkan Suara Perempuan Masyarakat Adat. https://www.jawapos.com/infotainment/016573659/jadi-dewan-direktur-internasional-cbd-budayawan-nukila-evanty-perjuangkan-suara-perempuan-masyarakat-adat

JMIR Human Factors. (2024). Influence of TikTok on Body Satisfaction Among Generation Z in Indonesia.

Kompas.com. (2022, September 14). Biografi Rasuna Said, Pahlawan Kemerdekaan Pejuang Hak Perempuan Indonesia.

Kompas.com. (2022, September 21). Kisah Marsinah, Aktivis Buruh yang Dibunuh pada Masa Orde Baru.

Suryakusuma, J. (2011). State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia. Yogyakarta: Komunitas Bambu.

UNDP Indonesia. (2025, Juli 24). UNDP Launches New Initiative to Protect and Empower Women Environmental Defenders in Indonesia. VRITIMES.com.
Women’s Earth Alliance. (2024). Indonesia Grassroots Accelerator 2024.

Pos terkait