Perjuangan & Khittah Pers Menjaga Demokrasi, Bukan Lindungi Kekuasaan

  • Whatsapp

Oleh: Dr. Fadli Zon, M.Sc. Mantan Wartawan, Anggota Komisi I DPR RI

Kemarin, Minggu, 9 Februari 2020, kita kembali memperingati Hari Pers Nasional. Tahun ini peringatan Hari Pers Nasional mengambil tema “Pers Menggelorakan Kalsel sebagai Gerbang Ibukota Negara”.

Bacaan Lainnya

Terus terang saya sebenarnya agak kurang sreg dengan tema tersebut. Sebab, tema tersebut mengesankan pers nasional merupakan juru bicara Pemerintah.

Padahal, khittah pers seharusnya adalah “watchdog”, alias anjing penjaga, bagi Pemerintah. Mereka harusnya bekerja mengawasi kerja Pemerintah dan menggonggong jika ada sesuatu yang dianggap tidak beres.

Dalam teori-teori demokrasi, pers sering disebut sebagai “fourth estate”, alias pilar keempat, sesudah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Artinya, pers punya posisi penting dalam ekosistem demokrasi.

Kehadirannya ikut menjaga sekaligus menjadi penanda bagaimana kualitas sebuah demokrasi. Jika pers bisa menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol, atau sebagai “watchdog” yang senantiasa kritis, bisa dipastikan kehidupan demokrasi berjalan sehat.

Sebaliknya, jika pers hanya bisa jadi advertorial, atau brosurnya kekuasaan, pasti ada sesuatu yang keliru.

Terkait isu ibukota negara, kita sebenarnya mengharapkan pers nasional bisa memberikan pandangan kritis, atau “second opinion” bagi masyarakat.

Kita mengharapkan pers nasional tak sekadar mengamplifikasi pernyataan atau kepentingan para pejabat negara.

Itu sebabnya pers diberi kebabasan, dan berhak mendapatkan kebebasan, agar bisa memberikan informasi yang komprehensif untuk kepentingan publik.

Sayangnya, hingga hari ini Indeks Kebebasan Pers kita masih cukup rendah. Dalam World Press Freedom Index 2019, yang disusun Reporters Without Borders, Indonesia hanya menempati posisi 124 dari 180 negara.

Posisi kita bahkan berada di bawah Timor Leste yang berada di peringkat 93 dalam indeks tersebut. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, memang ada perbaikan posisi. Sayangnya, posisi kita tetap saja cukup rendah.

Salah satu penyumbang rendahnya peringkat kebebasan pers di Indonesia adalah masih tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis. Dan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo memberi banyak catatan buruk.

Kasus pembatasan peliputan, bahkan pelarangan peliputan, kembali dilakukan Pemerintah. Aparat keamanan juga tak segan untuk mengintimidasi, bahkan menggunakan kekerasan, saat menghadapi jurnalis. Ini bukan perkembangan yang kita harapkan.

Meminjam data AJI (Aliansi Jurnalis Independen), sepanjang tahun 2018, tercatat terjadi 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kasus yang dikategorikan sebagai kekerasan itu seperti pengusiran, penyerangan fisik, hingga pemidanaan karya jurnalistik.

Jumlah ini lebih banyak dari data tahun 2017, yaitu sebesar 60 kasus. AJI Indonesia juga mencatat tindakan pemukulan, penamparan dan serangan fisik lainnya menjadi jenis kekerasan terhadap jurnalis yang paling banyak terjadi pada tahun 2018. Pada 2019, jumlah kasus memang turun, menjadi 40 kasus.

Sehingga, meskipun indeks kebebasan pers agak membaik pada 2019 kemarin, namun indikator kriminalisasi dan kekerasan terhadap jurnalis masih mendapat sorotan.

Merujuk kepada survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2019 yang disusun oleh Dewan Pers, skor IKP tahun 2019 mencapai 73,71, atau cukup bebas. Skor ini lebih baik dari tahun 2018 yang hanya mencapai 69, alias agak bebas.

Namun, sebagaimana catatan sebelumnya, indikator kekerasan terhadap jurnalis bisa disebut masih buruk. Dari 20 indikator survei, 19 indikator mengalami kenaikan skor.

Hanya indikator kebebasan pers dari kriminalisasi yang skornya turun dari 78,84 pada 2018 menjadi 76,57 pada 2019. Ini tentu harus jadi catatan.

Kekerasan terhadap jurnalis ini saya kira bukan hanya soal fisik saja, namun juga terkait soal hegemoni wacana. Jurnalis kita masih belum terbebas—atau mampu membebaskan dirinya—dari narasi-narasi hegemonik, khususnya yang diproduksi oleh Pemerintah.

Mereka mungkin sebenarnya bisa menghadirkan perspektif yang berbeda, menggali sumber-sumber alternatif, namun karena takut dipecat, atau ada sensor internal, jurnalis jadi tak sepenuhnya bebas menjalankan fungsinya. “Kekerasan hegemonik” ini saya kira agak sulit untuk dibuktikan, namun bisa dirasakan kehadirannya.

Saya berharap, ke depan pers nasional bisa kian memantapkan khittahnya sebagai penjaga demokrasi, dan menjauhi fungsi sebagai penyambung lidah kekuasaan. Pers memang seharusnya melayani kepentingan publik, bukan melayani kepentingan penguasa.

Selamat Hari Pers Nasional!

Pos terkait