Foto: Presiden Prabowo Subianto/ Net
TAK pelak lagi Prabowo Subianto mengusung populisme sejak dalam pikiran. Dan ide itu mewarnai betul pidato pertamanya setelah dilantik menjadi presiden ke delapan Republik Indonesia, 20 Oktober 2024. Dalam pidato itu, ia berulang kali menyebut kata rakyat –sebagai alasan dan tujuan segala hal yang akan dikerjakannya ketika memimpin Indonesia.
Retorika itu mencapai klimaks ketika sang presiden menandaskan, “cita-cita kita adalah melihat wong cilik iso gemuyu, wong cilik bisa senyum, bisa ketawa”. Kita di situ adalah pemerintahannya bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, di mana ia bakal memandu populisme itu bergerak.
Secara longgar, populisme dimaksud mengacu pada definisi Britannica, yakni merujuk kepada program atau gerakan politik yang memperjuangkan atau mengaku memperjuangkan rakyat biasa. Dan itu umumnya ditempuh dengan cara yang kontras dengan elite atau kelompok mapan.
Sedang Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut populisme sebagai paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan dan keutamaan rakyat kecil.
Saya ingin menggunakan dua pengertian di atas untuk menandai program yang sedang dan akan dilaksanakan Presiden Prabowo, 2024-2029.
Untuk menyebut contoh rajutan populisme Prabowo: menghapus utang macet sejuta UMKM senilai Rp 14 triliun (yang telah siap 67.000 UMKM) di bank negara, makan siang bergizi gratis berbiaya ratusan triliun, penyediaan tiga juta unit rumah di pedesaan, pesisir dan perkotaan hingga cek kesehatan gratis di puskesmas bagi warga yang sedang merayakan ulang tahun.
Untuk mewujudkan program populis, Pemerintahan Prabowo Subianto perlu dana yang tidak kecil dan duit tadi tak bisa bertumpu dari APBN. Jadi segenap ide dan prakarsa dibuka, termasuk mengembuskan wacana tidak populer dan kontroversial.
Dua yang menonjol: Pertama, wacana memaafkan koruptor asal mengembalikan uang yang ditilep atau digarong pencuri uang negara itu. Kedua, bersikukuh akan menerapkan kebijakan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
Opini publik yang diartikulasikan masyarakat sipil, akademisi, aktivis, ekonom hingga mahasiswa sanggup menyadarkan sang presiden untuk kembali “populis”.
Blunder yang tidak perlu itu segera diredam. Presiden Prabowo berani mengoreksi sikapnya menyangkut pemberantasan korupsi dan penegakan hukum terhadap koruptor. Presiden juga mengumumkan sendiri pembatalan kenaikan PPN, dan menerapkan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang mewah.
Dalam kredo pemberantasan korupsi, tak ada opsi memaafkan koruptor –yang notabene telah mencuri duit negara. Mereka maling, tukang tilep, tukang garong, tukang sogok harus menerima hukuman yang setimpal dan berat karena niat dan tindakan jahatnya telah menyebabkan rakyat menderita.
Penekanan pada penderitaan rakyat itulah yang mengilhami Artidjo Alkostar membuat putusan atau vonis berat kepada koruptor di tingkat kasasi semasa memimpin kamar pidana di Mahkamah Agung.
“Artidjo effect” itu belakangan kian melemah seiring makin kendornya taji dan marwah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menggasak koruptor. Tetanda itu berbunyi nyaring selepas revisi UU KPK di akhir periode pertama Pemerintahan Joko Widodo.
Kini, palu godam ala “Artidjo” mungkin sudah patah berkeping-keping. Terdakwa Harvey Moeis yang diduga merugikan negara Rp300 triliun dalam korupsi timah cuma diganjar 6,5 tahun. Artidjo effect kempis, surut, bahkan gulung tikar seiring kepergian hakim agung yang lurus itu.
Padahal sekitar 2013 silam, vonis berat yang diberikan Artidjo dan kawan-kawan di kamar pidana MA kepada sejumlah koruptor telah menginspirasi hakim di bawah MA, dari PN dan PT, untuk memvonis hukuman berat kepada koruptor. Artidjo pernah memperberat hukuman kepada Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Atut Chosiyah hingga Anas Urbaningrum.
Satu dekade setelah 2013, ICW mencatat, rata-rata hukuman terhadap pelaku korupsi cuma 3 tahun 4 bulan penjara. Amat ringan. Koruptor harus menerima efek jera, dan mengembalikan kerugian negara tak boleh ditukar dengan kebebasan.
Dalam perkara rencana kenaikan PPN jadi 12 persen, logika pemerintah amat lemah ketika berulang-ulang menyebut kebijakan itu harus dilaksanakan karena merupakan perintah undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan ngeyel dan tak mau tahu dengan protes publik. Dia kurang lebih menyebut pemerintah dan DPR telah membahas soal-soal yang mencuat di ruang publik tahun 2021 silam, dan lagian lanjut Sri Mulyani, tidak fair jika konteks hari ini dibandingkan dengan latar saat UU 7/2021 itu terbit.
Agak ribet, padahal Undang-Undang bukan hal yang beku. Dengan kemauan politik dan menimbang imbasnya yang menggergaji daya beli masyarakat, UU itu bisa direvisi –bahkan diubah dengan mekanisme Perppu.
Bangsa ini memasuki tahun 2025 dengan sedikit lega, karena Pemerintahan Prabowo berani berkorban sekitar Rp75 triliun demi rakyat. Begitu suara pujian dari sebagian anggota DPR di Senayan, Jakarta.
Siapa sesungguhnya yang berkorban? Benarkah pemerintah berkorban?
Sebagian pidato Presiden Prabowo di gedung DPR/MPR menyebut isi hati dan pikirannya yang notabene putra dari begawan ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo itu.
“…kita sebagai pemimpin politik jangan kita terlalu senang melihat angka-angka statistik yang membuat kita terlalu cepat gembira, terlalu cepat puas, padahal kita belum melihat gambaran sepenuhnya. Kita merasa bangga bahwa kita diterima di kalangan G-20, kita merasa bangga bahwa kita disebut ekonomi ke-16 terbesar di dunia. Tapi apakah kita sungguh-sungguh paham? Apa kita sungguh-sungguh melihat gambaran yang utuh dari keadaan kita? Apakah kita sadar bahwa kemiskinan di Indonesia masih terlalu besar? Apakah kita sadar bahwa rakyat kita dan anak-anak kita banyak yang kurang gizi?”
Jika rakyat adalah awal dan akhir dari segenap kerja dan program pemerintahannya, Prabowo-Gibran tidak sedang berkorban. Itu hal yang lumrah dan sewajarnya dilakukan, terlebih mengingat pembukaan UUD 1945 menyebut tujuan negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum (rakyat).
Meski begitu, soko guru populisme Prabowo Subianto menyimpan dua masalah gawat. Pertama, pemerintahan populis yang begitu lantang melantunkan ide-ide kerakyatan ini, terancam inefisiensi sejak kabinet Merah-Putih masih dalam kandungan.
Kabinet ini sangat jumbo, salah satu yang terbesar dalam sejarah republik, terdiri atas 109 menteri dan wakil menteri. Belum lagi ada badan baru yang dibentuk.
Kabinet gemuk itu perlu sokongan dana, dan itu bisa mengurangi kelincahan APBN dalam membiayai program prioritas dan reguler dari pemerintahan yang melanjutkan Joko Widodo ini.
Kedua, populisme menyimpan masalah laten pada dirinya sendiri, yakni memiliki konsekuensi ekonomi yang membuat produk domestik bruto tidak bergerak sesuai harapan. Ini salah satu temuan studi yang melacak arus populisme sejak 1900. Studi Moritz Schularick, Christoph Trebesch dan Manuel Funke berjudul “The cost of populism: Evidence from history” (2021) menyebut kecenderungan program populisme tidak ramah dengan pertumbuhan ekonomi.
Studi ini menemukan gejala populisme menguat tahun 2018, di mana 16 negara diperintah oleh penguasa populis berdasarkan literatur ilmu politik. Ini setara dengan seperempat sampel studi. Dan Donald Trump yang terpilih lagi sebagai Presiden Amerika Serikat di Pilpres 2024, setelah “dijeda” oleh Joe Biden, termasuk kelompok itu.
Di sini tanda tanya besar layak diajukan: Bagaimana Presiden Prabowo Subianto meracik strategi agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% tercapai?
OLEH: MOH SAMSUL ARIFIN
Penulis adalah Mantan Produser Eksekutif Nusantara TV
Sumber: RMOL