Pidato Berani Gustavo Petro di PBB: Seruan Solidaritas Global untuk Palestina

Presiden Kolombia, Gustavo Petro di Sidang Umum PBB. (Foto: UN)

*Oleh: Novita Sari Yahya 

Dunia tersentak ketika Presiden Kolombia, Gustavo Petro, menyampaikan pidato berapi-api dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80, pada 24 September 2025. Selama 41 menit, Petro menekankan pembelaan terhadap Palestina dan melontarkan kritik tajam atas genosida di Gaza. Pidato tersebut viral di media sosial dan ramai dikutip media nasional Indonesia.

Bacaan Lainnya

Lewat akun Instagram pribadinya (@gustavopetrourrego), Petro membagikan naskah lengkap pidato yang berisi seruan solidaritas global untuk menghentikan kekerasan sekaligus membangun perdamaian.

Berikut salah satu kutipan penting dari pidatonya:

“Ini pidato terakhir saya sebagai presiden di sini, sudah yang keempat. Hari ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa menghadapi krisis dan perlunya transformasi… Pertama-tama kita harus menghentikan genosida Gaza. Umat manusia tidak boleh membiarkan genosida terjadi lagi… Diplomasi telah gagal, maka Majelis Umum PBB harus bersuara, bukan Dewan Keamanan… Saya mengundang bangsa-bangsa di dunia untuk bersatu, bergabung, dan membebaskan Palestina…”

Pidato penuh emosi itu memicu reaksi luas. Mayoritas warganet menilai Petro berani menantang hegemoni kekuatan besar dunia.

Latar Belakang Gustavo Petro

Petro lahir dari keluarga sederhana di pesisir Karibia Kolombia. Sejak remaja, ia dipengaruhi pemikiran kiri, terutama setelah kudeta militer 1973 yang menggulingkan Presiden Marxis Chile, Salvador Allende. Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan kelompok gerilya urban M-19.

Pada 1985, Petro ditangkap militer Kolombia, dituduh memiliki senjata, dan dipenjara hampir dua tahun. Ia mengaku lebih banyak berperan di balik layar ketimbang bertempur langsung. Petro dibebaskan pada 1990 setelah M-19 menandatangani kesepakatan damai dengan pemerintah.

Pengalaman pahit itu membentuk karier politiknya. Ia kemudian menjadi anggota DPR, senator, walikota Bogota (2012–2015), hingga akhirnya terpilih sebagai presiden pada Juni 2022 dengan perolehan 50,49% suara. Latar belakang sebagai mantan pemberontak membuatnya dikenal sebagai figur revolusioner yang membela kaum marjinal – masyarakat Afro-Kolombia, pribumi, kelompok miskin, hingga pemuda.

Dari Aktivis Menjadi Presiden

Sejarah dunia mencatat, sejumlah mantan pemberontak atau aktivis yang pernah dipenjara kemudian menjadi presiden. Misalnya:

José Mujica (Uruguay), dijuluki presiden termiskin dunia karena gaya hidup sederhana setelah dipenjara 13 tahun oleh rezim diktator.

Luiz Inácio Lula da Silva (Brasil), sempat dipenjara 580 hari atas tuduhan korupsi yang kemudian dibatalkan, lalu kembali memimpin Brasil.

Fidel Castro (Kuba), dipenjara 22 bulan pasca-serangan Moncada (1953) sebelum memimpin Revolusi Kuba.

Indonesia juga punya contoh serupa. Soekarno dipenjara Belanda pada 1929 di Banceuy, Bandung, karena aktivitas politiknya. Namun, pemenjaraan tidak memadamkan api perjuangan.

Bagi para aktivis, penjara bukan akhir, melainkan ruang penguatan ide dan tekad. Karena itu, ketika mereka memimpin, sikap mereka lebih berpihak pada penderitaan rakyat dibanding politisi karier.

Aktivis di Panggung Global

Pidato Petro menunjukkan gaya khas seorang aktivis: lugas, emosional, dan konkret. Ia tidak hanya memberi retorika manis, melainkan menyerukan aksi nyata.

Hal ini mengingatkan pada pidato-pidato aktivis lain di forum PBB, misalnya:

Soekarno (1960), lewat pidato To Build the World Anew, menentang kolonialisme dan menawarkan Pancasila sebagai dasar perdamaian dunia.

Nelson Mandela (1994), menekankan rekonsiliasi pasca-apartheid dan menyerukan perjuangan melawan kemiskinan serta ketidakadilan.

Lula da Silva (2024), menyerukan reformasi PBB dan penghentian perang di Gaza serta Ukraina, terinspirasi dari masa lalunya sebagai buruh serikat dan mantan tahanan politik.

Semua pidato itu memiliki benang merah: empati terhadap penderitaan manusia dan penolakan terhadap ketidakadilan global.

Cerminan Aktivis dalam Pidato

Petro menutup pidatonya dengan nada emosional, menyerukan agar rakyat dunia bersatu, memberontak terhadap tirani, dan memperjuangkan kebebasan.

Aktivis selalu menempatkan diri sebagai bagian dari rakyat. Bagi mereka, penderitaan rakyat adalah penderitaan pribadi. Itulah sebabnya, pidato semacam ini terdengar jujur dan menggugah, karena lahir dari pengalaman nyata menghadapi represi, penjara, dan perlawanan.

Referensi

1. Kompas.com – Biografi Tokoh Dunia: Fidel Castro, Simbol Revolusi Komunis

2. Kompas.com – José Mujica, Presiden Termiskin di Dunia

3. The New York Times – Mandela Thanks U.N. for Apartheid Fight

4. Kompas.com – Peran Bung Karno Mengenalkan Pancasila ke Seluruh Dunia

5. Bisnis.com – Pidato Sidang Umum PBB ke-80, Presiden Brasil Lula Kecam Genosida Israel di Gaza

6. Kompas.com – Profil Gustavo Petro: Mantan Pemberontak yang Jadi Presiden Kolombia

7. Detik.com – Sejarah Penjara Banceuy Bandung, Saksi Bisu Perjuangan Sukarno

8. Detik.com – Spektakuler! Lula da Silva Kembali Berkuasa di Brasil Usai Dipenjara

9. Bisnis.com – Viral Pidato Presiden Kolombia Bela Palestina di Sidang PBB

Pos terkait