PIP Diseret ke Arena Politik, DPR Dituding Jadikan Bantuan Pendidikan Alat Kampanye

Kartu PIP. (Ilustrasi)

PROGRAM Indonesia Pintar (PIP) yang sejatinya menjadi instrumen negara untuk menjamin akses pendidikan anak dari keluarga miskin, kini menuai sorotan tajam. Skema PIP Aspirasi, yang melibatkan anggota DPR dan DPD dalam pengusulan penerima, dinilai telah menggeser bantuan negara menjadi alat kepentingan elektoral.

Melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), negara berupaya memutus rantai kemiskinan antargenerasi dengan memastikan anak-anak tetap bersekolah. Keberhasilan program ini bertumpu pada dua prinsip utama: keadilan alokasi dan ketepatan sasaran. Namun, mekanisme aspirasi legislatif justru memunculkan paradoks etika dan tata kelola.

Bacaan Lainnya

Secara formal, jalur aspirasi dianggap sah. Tetapi secara etik politik, keterlibatan langsung anggota legislatif dalam penentuan dan pembagian KIP telah mengaburkan batas fungsi. Program kesejahteraan murni berpotensi dibajak menjadi instrumen pencitraan politik.

Konflik Peran DPR dan Erosi Check and Balance

Masalah mendasar PIP Aspirasi terletak pada konflik peran legislatif. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun dalam praktik PIP Aspirasi, sebagian anggota DPR, khususnya di Komisi X, tidak lagi sekadar mengawasi, melainkan ikut menentukan daftar penerima bahkan membagikan KIP secara langsung melalui timnya di daerah pemilihan.

Kondisi ini mencederai prinsip check and balance. Pengawas berubah menjadi pelaksana. Pertanyaan krusial pun muncul: siapa yang mengawasi ketika pengawas itu sendiri terlibat langsung dalam eksekusi program?

Padahal, peran ideal DPR adalah memastikan Kementerian Pendidikan menjalankan PIP berdasarkan data akurat seperti DTKS, distribusi merata, serta penggunaan anggaran yang efisien dan bebas penyimpangan.

Bayang-bayang Vote Buying dan Penyalahgunaan Wewenang

Lebih jauh, PIP Aspirasi membuka ruang bagi praktik vote buying terselubung. Pembagian KIP kerap dibungkus seremoni politik, menampilkan foto politisi, logo partai, atau klaim personal seolah bantuan tersebut berasal dari “kebaikan” anggota dewan.

Padahal, PIP sepenuhnya bersumber dari APBN, uang rakyat, dan merupakan hak konstitusional warga miskin—bukan donasi pribadi politisi. Distorsi ini berbahaya karena mengubah kewajiban negara menjadi komoditas politik dan menciptakan relasi “utang budi” pemilih kepada politisi.

Masalah lain adalah penyalahgunaan wewenang. Anggota DPR tidak memiliki instrumen verifikasi sosial sekomprehensif DTKS. Keterlibatan langsung berisiko melahirkan praktik kolusi, nepotisme, atau keberpihakan kepada pendukung politik, meski tidak memenuhi kriteria kelayakan.

Keadilan Program Terkikis, Warga Rentan Terpinggirkan

Politisasi PIP bukan sekadar persoalan etik individu, melainkan masalah sistemik. Basis penentuan penerima bergeser dari kebutuhan objektif menjadi afiliasi politik. Akibatnya, keluarga miskin yang paling membutuhkan justru berpotensi terlewatkan karena tidak memiliki akses atau kedekatan politik.

Di sisi lain, publik, terutama di daerah rentan, didorong untuk percaya bahwa akses pendidikan adalah hasil negosiasi politik, bukan hak dasar warga negara. Hal ini merusak kepercayaan terhadap negara sebagai institusi yang netral dan adil.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya juga menyoroti keterlibatan DPR dalam penentuan beasiswa sebagai akar persoalan, memperkuat dugaan bahwa mekanisme aspirasi lebih sarat kepentingan elektoral ketimbang kepentingan pendidikan rakyat miskin.

Mengembalikan Marwah Program Indonesia Pintar

Untuk memulihkan PIP sebagai program kesejahteraan murni, sejumlah langkah tegas perlu dilakukan. Pertama, pengembalian fungsi pengawasan DPR. Komisi X harus fokus mengawasi validitas data, efektivitas pencairan, serta penindakan penyimpangan—bukan menentukan penerima.

Kedua, sentralisasi dan pemurnian data penerima. Penentuan dan verifikasi harus sepenuhnya berada di tangan eksekutif dengan basis data resmi seperti DTKS dan P3KE.

Ketiga, audit dan transparansi penuh. Audit rutin terhadap penerima PIP Aspirasi perlu dilakukan, disertai portal publik yang transparan terkait sumber dana APBN dan kriteria kelayakan, tanpa embel-embel nama maupun foto politisi.

PIP harus hadir sebagai wajah negara yang adil, melayani warga berdasarkan kebutuhan, bukan loyalitas politik. Jangan biarkan program mulia ini tereduksi menjadi alat kampanye murah yang justru mengkhianati amanat pemerataan akses pendidikan. (***)

 

 

Engkos Kosasih

Wartawan senior

Pos terkait