Tulisan ini terinspirasi dari berita yang dimuat di portal Pemda Depok:
https://berita.depok.go.id/sejarah-baru-kelurahan-baktijaya-miliki-ketua-tp-pkk-pria-pertama-di-depok-bahkan-jabar
Saya telah tinggal di Depok selama 25 tahun, ber-KTP Depok, dan pernah menjadi PNS Depok sebelum mengajukan pengunduran diri. Dengan pengalaman tersebut, saya cukup memahami karakteristik masyarakat dan birokrasi di Depok. Namun, saya masih mempertanyakan alasan dan motivasi ketika PKK dipimpin oleh pria.
Sebagai peneliti yang menekuni kajian ibuisme negara, yang awalnya dikembangkan dalam disertasi Julia Suryakusuma, saya meneliti bagaimana negara menggunakan simbol perempuan sebagai pengurus moral, sosial, dan keluarga untuk melanggengkan kontrol patriarki. PKK dan Dharma Wanita adalah organisasi bentukan negara yang berwajah ibuisme. Dalam praktiknya, perempuan miskin, janda, atau orang tua tunggal sering mengalami diskriminasi, pelabelan, stereotipe, dan marginalisasi dalam budaya patriarki. Dalam kajian saya, organisasi-organisasi ini menunjukkan bagaimana kontrol negara terhadap perempuan sering terselubung dalam program-program pemberdayaan keluarga.
Ketika kepemimpinan PKK diambil alih oleh pria, budaya patriarki berpotensi semakin menguat. Hal ini terutama penting dalam konteks desentralisasi, di mana kontrol negara tersebar ke daerah. Argumen bahwa pria harus berperan dalam organisasi perempuan untuk meningkatkan partisipasi gender tidak tepat. Yang lebih tepat adalah memberikan ruang ekspresi bagi perempuan melalui kepemimpinan dalam organisasi, pendidikan politik, pendidikan kesetaraan gender, dan pendidikan demokrasi.
Proses demokrasi dalam keluarga tidak mengharuskan pria ikut terlibat dalam urusan “mak-mak”, tetapi mendukung dan memberikan dukungan agar perempuan berdaya. Analogi sederhananya: apakah pantas bila perempuan ikut memimpin kegiatan yang identik dengan laki-laki, misalnya siskamling? Jika ingin melibatkan pria dalam organisasi perempuan, peran mereka seharusnya mendorong istri atau perempuan di lingkungan mereka melalui pendidikan dan pemberdayaan, bukan mengambil alih kepemimpinan. Jika pria memimpin organisasi perempuan yang merupakan simbol ibuisme negara, maka budaya patriarki justru semakin langgeng.
Motivasi Pria Menjadi Ketua PKK
1. Depok – Muhammad Nur Rochman
Motivasi: menjadi sejarah baru dan menunjukkan partisipasi pria dalam pemberdayaan keluarga.
2. Semarang – Alwin Basri
Motivasi: membangun karakter dan moralitas keluarga melalui program bimbingan mental; terkait posisi istrinya sebagai Wali Kota.
3. Banjarbaru – Riandi Hidayat
Motivasi: mendorong inklusivitas dan partisipasi lintas gender dalam organisasi; menjadi inspirasi daerah lain.
4. Brebes – Ahmad Saeful Ansori
Motivasi: mendukung program istrinya sebagai Bupati dan melanjutkan program PKK di Kabupaten Brebes.
Problem yang Dihadapi
Penguatan budaya patriarki: Ruang yang seharusnya menjadi arena ekspresi dan kepemimpinan perempuan diambil alih pria.
Motivasi simbolik atau politis: Kepemimpinan pria sering muncul karena hubungan keluarga atau simbol sejarah, bukan kapasitas perempuan.
Dilema inklusi pria vs. kepemimpinan perempuan: Argumen “pria perlu ikut berperan” tidak boleh diartikan sebagai pengambilalihan kepemimpinan. Keterlibatan pria yang tepat adalah sebagai pendukung, mendukung perempuan tanpa menggeser posisi mereka.
Kesimpulan
Terpilihnya pria sebagai Ketua TP PKK di Depok dan beberapa daerah lain menunjukkan fenomena simbolik dan politis. Motivasi mereka—mulai dari membangun moral keluarga, mendukung istri, hingga mendorong inklusivitas—tidak menggantikan kebutuhan mendasar PKK: menyediakan ruang bagi perempuan untuk memimpin, belajar, dan mengubah struktur sosial patriarkal. Kajian saya tentang ibuisme menunjukkan bagaimana negara menggunakan simbol perempuan untuk melanggengkan kontrol patriarki. Pemberdayaan sejati hanya bisa dicapai dengan memberi perempuan ruang kepemimpinan, pendidikan politik, kesetaraan gender, dan demokratisasi keluarga, sementara pria berperan sebagai pendukung tanpa mengambil alih.
Novita Sari Yahya
Penulis dan Peneliti Kajian Ibuisme Negara