Oleh: Sutar Temanggung
Penulis Indonesiana
Lengkap sudah dominasi pro pemerintah Joko Widodo atau Jokowi di segala lini. Kursi Ketua DPR diduduki Puan Maharani dari PDIP dan Ketua MPR dijabat Bambang Soesatyo dari Golkar, partai pendukung pemerintah. La Nyalla Mattalitti, pendukung Jokowi, juga menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah.
Tak ada yang tersisa. Di ranah publik pun, dominasi buzzer pro Jokowi di media sosial pun disorot. Para buzzer yang menyokong Jokowi sejak pemilihan presiden lalu, masih aktif mempengaruhi opini publik.
Kondisi itu amat menguntungkan jika kebijakan pemerintah baik-baik saja dan menyenangkan mayoritas rakyat. Masalah, akan muncul jika langkah pemerintah melenceng dari keinginan khalayak, maka tak ada saluran untuk mengritik atau mengubah policy pemerintah.
Kepentingan elite politik
Demokrasi juga bukan jaminan seorang pemimpin selalu mementingkan aspirasi masyarakat. Dalam demokrasi pun berlaku hukum besi oligarki.
Teori ini mula-mula dirumuskan oleh Robert Michels untuk mengambarkan kecenderungan elitisme di partai politik. Idealnya partai politik merupakan penyalur aspirasi rakyat. Tapi, menurut Michels, semua partai politik akan terjangkit penyakit elitisme dan menjadi kelas tersendiri yang disebut oligarki.
Belakangan, teori ini diperluaskan bukan hanya untuk partai politik, tapi juga sistem politik. Elitisme itu terjadi di kalangan penguasa atau sekolompok partai-partai yang berkuasa. Akibatnya mereka bisa seenaknya mengabaikan aspirasi masyakat dan mengutamakan kepentingan mereka sendiri.
Contoh yang paling nyata tentu saja pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi UU KPK. Masyarakat luas jelas tidak berkepentingan KPK menjadi lemah. Publik yang cerdas pasti menginginkan komisi antikorupsi yang kuat agar biasa membongkar korupsi para elite penguasa.
Sejumlah Rancangan Undang-undang yang akhirnya ditunda juga mengandung kepentingan penguasa. RUU Permasyarakatan, misalnya, mengutamakan kepentingan koruptor. Mereka mendapat hak remisi dan rekreasi. Adapun RUU Pertanahan lebih memihak pada kepentingan pengusaha yang umumnya juga berkolusi dengan penguasa. Konsesi pemakaian tanah negara dipermudah dan diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama.
Harapannya cuma mahasiswa?
Gelombang demomontrasi kaum milenial sebetulnya ingin mendobrak sistem politik kita yang cenderung melayani elite politik. Tapi sebagai kelompok penekan, demo mahasiswa memiliki keterbatasan. Bukan hanya gampang diredam oleh penguasa, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan kuliah.
Harapan yang lain, tentu saja masyarakat sipil yang peduli atau adanya pergeseran peta politik, sehingga muncul oposisi yang berani mengkritik dan mengontrol pemerintah. Misalkan, ada partai yang berani membela KPK. Tentu pemerintah dan DPR tak seenaknya melemahkan komisi antikorupsi. (*)