Oleh: Noviyanto Aji
FILM The Happening yang dirilis tahun 2018 menceritakan wabah virus misterius yang tersebar di udara. Wabah ini membuat orang-orang melakukan bunuh diri.
Wabah virus ini terjadi di hampir belahan dunia. Uniknya, wabah ini hanya menyerang orang-orang yang bergerombol. Membentuk kelompok. Jadi, agar terhindar dari wabah, mereka harus berpisah. Jaga jarak. Sosial distancing. Physical distancing.
Sutradara M. Night Shyamalan tampaknya sengaja membalut film tersebut dengan cerita yang tidak umum.
Sepertinya sang sutradara mau menyampaikan bahwa wabah melanda dunia karena faktor manusia yang selalu merusak alam. Akibatnya alam pun murka. Manusia diserang. Mereka yang berkelompok dianggap musuh.
Jalan satu-satunya agar selamat, manusia harus berpisah. Membuat jarak. Menjauh antar sesama.
Antara film dan kenyataan saat ini hampir sama. Virus corona yang muncul entah karena faktor alam atau kecerobohan manusia, membuat orang kini harus menjaga jarak satu sama lain.
Belahan dunia sudah menerapkan lockdown. Indonesia selalu terlambat. Tapi bukan soal lockdown yang hendak saya bahas dalam tulisan ini.
Saya justru penasaran kapan wabah akan berakhir. Apakah ending-nya ditemukan obatnya terlepas dari konspirasi yang selalu didengungkan? Atau wabah akan mengakhiri hidup manusia?
Belum lama ini saya bertemu teman lama. Dia paham soal budaya dan tradisi Jawa. Terutama paham soal ramuan dari rempah-rempah.
Dua kali kami bertemu. Awal dulu bertemu bulan Agustus 2019. Saat itu dia mengingatkan akan ada wabah penyakit meluas. Seluruh dunia akan dipenuhi pagebluk.
Saya diingatkan untuk tidak keluar rumah. Jaga keluarga baik-baik. Jangan pergi ke luar kota kecuali penting. Nanti semua orang akan panik.
Kita berpisah. Saya lupa. Tidak ingat pesan teman.
Saat corona pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada akhir 2019 lalu, saya juga belum ngeh. Barulah saya ingat pesan teman setelah penyebaran virus menjadi tidak terkendali dan menyerang di 200 lebih negara di dunia.
Benar kata teman. Semua panik. Banyak yang terpapar. Banyak yang mati. Sedikit yang sembuh. Virus menyebar dari klaster ke klaster. Yang berkelompok dan bergerombol terjangkiti. Susah mendeteksi.
Pemerintah kalah kabut. Yang politisi bicara soal corona politik. Yang ekonom bicara corona ekonomi. Yang filsuf bicara corona filsafat. Yang ulama bicara corona agama. Jelasnya, semua tidak tahu mesti berbuat apa.
Dan awal April 2020, saya bertemu teman itu lagi. Teman yang ramalannya terbukti. Agak ngeri-ngeri sedap.
Dia bilang, virus sekarang hanya membunuh orang-orang yang panik dan takut mati saja.
“Loh, kok bisa?” Tanya saya.
Teman tidak menjelaskan detil. Saya pun tidak mau tanya detil. Tapi sebelumnya saya mendapat info terkait orang-orang yang terpapar dan berada di ruang isolasi atau ruang karantina.
Selama dalam isolasi atau karantina, bagi pasien terpapar yang masih sehat, dan tidak butuh alat bantu pernafasan atau sebagainya, mereka setiap hari hanya disuruh bernyanyi dan berolahraga. Mereka senantiasa diberi dorongan semangat. Cara ini dilakukan karena memang penawar corona belum ditemukan.
Berbekal semangat itulah dipercaya dapat mengembalikan kekuatan imun mereka untuk melawan virus dalam tubuh. Banyak yang sembuh. Menyingkirkan ketakutan dan kepanikan itulah modal utamanya.
Di luar sana, meski diterapkan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB), namun masih banyak kita temui orang-orang yang bekerja di sektor informal tetap beraktivitas seperti biasa. Seolah corona tidak ada. Orang-orang ini boleh dibilang tangguh. Tangguh luar dalam. Tidak takut dengan krisis apapun. Kata orang Jawa: wani urip.
Mereka punya prinsip, lahir, hidup, bekerja keras, lalu istirahat dan kemudian lenyap ditelan bumi. Itulah manusia. Sehingga apa yang mesti ditakuti. Keberanian mereka –bukan berarti menantang – inilah secara natural menjadikan imunitas dalam diri sebagai kekuatan dan dapat menangkal virus masuk.
Teman tadi juga bilang, bahwa pagebluk ini akan berakhir tiga bulan lagi. Saya hitung mulai bulan April sekarang ini. Berarti Juli 2020 akan berakhir.
Katanya juga, sebelum pagebluk berakhir, akan ada bintang jatuh ke bumi. Bukan sembarang bintang, lanjutnya. Melainkan bintang yang ada ekornya.
Bintang berekor ini dalam istilah Jawa dikenal sebagai Lintang Kemukus. Sampai sekarang masyarakat Jawa percaya bahwa penampakan komet atau bintang di langit adalah pertanda.
Lintang Kemukus versi serat jangka Jayabaya bersamaan dengan munculnya Batara Surya (Matahari). Sekaligus menandai perubahan ke arah positif. Awal kehidupan baru yang lebih baik. Di sini ditandai hilangnya kesengsaraan manusia yang berlarut-larut.
“Akan ada yang memperbaiki keadaan jaman, ditandai dengan munculnya Lintang Kemukus”, begini bunyi ramalannya.
Namun ada juga meramal kemunculan Lintang Kemukus sebagai tanda bencana. Ini seperti dalam tulisan R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya dalam “Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu”. Di tulisan itu dipaparkan makna kemunculan komet menurut tradisi Jawa berdasarkan arahnya.
Entah mana yang benar. Tapi kata-kata teman ini sangat menusuk, sangat meyakinkan, membawa harapan, memberi semengat, bahwa bintang berekor itu adalah pertanda berakhirnya pagebluk corona.
Saya percaya saja. Kalau ramalannya salah, toh tidak rugi buat saya. Andai menunggu kebenarannya, setidaknya bisa memberi semangat dan harapan melawan virus corona.
Apalagi dalam surat Al-Mulk Ayat 5 juga telah diterangkan: Dan Kami telah menghiasi langit yang terdekat dengan bumi dengan bintang-bintang yang bersinar dan Kami jadikan bintang-bintang itu sebagai bara api untuk melempar setan-setan yang sedang mencuri-curi dengar sehingga api itu membakar mereka, dan Kami telah menyiapkan bagi mereka di Akhirat siksa Neraka yang menyala-nyala.
Dari tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia, “Dan Kami jadikan bintang-bintang untuk melempar setan-setan” artinya bahwa bintang di langit tidak hanya sebagai penghias saja. Melainkan memiliki manfaat lain. Qatadah mengatakan: Allah menciptakan bintang-bintang untuk tiga hal: Hiasan di langit, untuk melempar setan, dan tanda untuk petunjuk di darat dan laut.
Dari tafsir An-Nafahat Al-Makkiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi. “Dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan,” artinya Allah menjadikan bintang-bintang tersebut sebagai penjaga langit agar setan tidak bisa mencuri berita-berita bumi.
Apakah setan-setan ini telah mencuri berita di bumi? Bisa jadi Sebab teman ini menganalogikan wabah identik dengan iblis. Saat wabah menyebar ke seluruh penjuru dunia, di sinilah iblis top-top-nya menggoda manusia.
Jika merujuk pakar tafsir terkemuka, Imam Mujahid sebagaimana dikutip Syekh Abdurrauf al-Manawi menyebutkan bahwa Iblis memiliki keturunan dan prajurit yang terstruktur rapi, mereka bekerja sesuai bidangnya masing-masing.
Ada yang namanya Al-Syabru. Makhluk ini berurusan dengan cobaan (wabah) yang menimpa manusia. Setiap kali manusia mendapatkan cobaan akan dibuatnya galau dan tidak sabar menerimanya. Segala ekspresi berlebih di kala mengalami musibah seperti menangis histeris, depresi, panik, ketakutan, mengamuk dan tradisi Jahiliyyah lainnya berhubungan dengan pengaruh Al-Syabru.
Ada iblis Al-Sauth. Tugasnya memutarbalikkan fakta dan kabar. Di tengah pandemik Covid-19 saat ini, mungkin cucu iblis yang satu ini paling berhasil di bidangnya. Ia berperan meracuni sebuah berita dengan penuh kedustaan. Istilah sekarang hoax. Maraknya penyebaran isu-isu yang membentuk opini publik dan kemudian melahirkan kepanikan dan ketakutan, inilah yang dilakukan Al-Sauth.
Apapun itu, tentu harapan kita agar bintang-bintang di langit itu segera melempar setan dan mengakhiri pagebluk ini. Semoga kita senantiasa diberi perlindungan oleh Allah dan mendapat husnul khatimah. (*)
……
Saya Ini Menko, Kekuasaan Saya Besar, Kalian Mau Apa?
Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)
Ini bukan bercanda. Saya mau bertanya kepada pakar hukum pidana. Khususnya pakar pidana UU ITE. Sekaligus bertanya kepada para pakar politik dan demokrasi. Juga para pakar kebebasan berbicara. Yang ingin saya tanyakan begini.
Saya duduk sebagai Menko yang memegang kekuasaan sangat besar. Dan saya juga punya bisnis yang menggurita. Saya mengurusi semua hal. Apa saja yang muncul, persiden selalu menghubungi saya dan meminta pendapat saya. Apa yang saya katakan, selalu diterima oleh persiden. Sering juga saya sendiri yang membisikkan berbagai solusi masalah kepada persiden. Dan persiden selalu setuju.
Publik sudah sangat muak dengan kelakuan saya. Bahkan banyak yang jijik melihat cara saya mengendalikan pemerintahan. Cukup banyak pula yang mengatakan bahwa persiden adalah boneka saya. Sayalah persiden yang sesungguhnya. Terserah saja.
Nah, sebelum pertanyaan itu saya tuliskan, ada baiknya saya akui terus terang peranan saya sebagai menteri yang memilik kekuasaan besar. Saya akui bahwa saya memang diberi wewenang eksekutif yang tidak pernah ada dalam sejarah kabinet di mana pun di dunia ini. Kekuasaan yang saya pegang itu boleh dikatakan tanpa batas sektoral. Plus, tanpa ada etika ministerial. Pokoknya, semua saya campuri.
Semua saya yang atur. Semua menteri bisa saya kendalikan. Menteri bidang apa saja. Saking besarnya kekuasaan yang diberikan persiden kepada saya, saya bisa membungkam menteri apa saja. Sebaliknya, saya tidak bisa dilawan oleh menteri mana pun juga. Mereka semua harus patuh kepada saya.
Resminya, saya dulu mengurusi masalah ombak laut saja. Tetapi, saya berhasil meyakinkan persiden bahwa masalah investasi pun harus saya yang urus. Siapa saja yang mau membawa modal ke sini, harus lewat saya.
Yang saya utamakan adalah modal dari Cheena. Sekarang ini, apa saja yang mau dibangun harus diserahkan kepada Cheena. Pemerintah juga banyak ‘ngutang ke sana. Pokoknya, saya arahkan persiden untuk memperkuat kehadiran Cheena di sini.
Tidak hanya duit Cheena yang dimasukkan ke sini. Orang-orang mereka pun dibawa untuk mengerjakan proyek-proyek yang dibiayai oleh mereka. Kebetulan pula, Cheena membuat syarat bahwa semua proyek yang mereka biayai harus ditangani sendiri oleh orang mereka.
Saya sebagai Menko mengikuti saja apa yang diinginkan Cheena itu. Bahkan saya bantu mereka dengan kekuasaan besar yang saya miliki. Kalau, misalnya, ada instansi yang mencoba-coba menjalankan aturan izin masuk dan izin tinggal terhadap orang-orang Cheena, saya langsung turun tangan. Semua beres. Mereka bisa masuk dan bekerja. Semua pejabat lain diam. Tak berani melawan saya.
Lantas, apakah saya dapat keuntungan pribadi dari semua ini? Nah, soal ini ‘kan tidak ada bukti. Orang di luar sana banyak yang bilang saya dapat komisilah, fee proyeklah, hadiahlah, dlsb. Tapi, bisakah mereka buktikan itu? Kalau saya lihat, tidak bisa.
Itulah sebabnya saya ancam orang-orang yang mengatakan bahwa saya ini hanya memikirkan duit, duit, duit saja. Saya tersinggung. Dari mana mereka tahu bahwa saya mendapat keuntungan pribadi? Silakan mereka buktikan. Kalau tempohari ada laporan utama sebuah majalah bergengsi yang menguraikan tentang dugaan bahwa perusahaan-perusahaan saya memainkan pajak ekspor-impor, memang tidak saya layani. Saya diam saja. Kalian bisa menerka-nerka bahwa ke-diam-an saya itu pertanda isi laporan majalah itu benar. Terserah kalianlah.
Ok. Kembali ke pertanyaan yang belum saya tuliskan di sini. Saya mau bertanya kepada para pakar hukum pidana, apakah labelisasi bahwa “saya ini hanya memikirkan duit, duit, duit saja” adalah ucapan kebencian dan penghinaan?
Bagi saya, itu penghinaan. Karena itu, saya mengultimatum orang yang mengatakan itu agar meminta maaf kepada saya. Kalau tidak, saya akan bawa ke ranah hukum. Saya pasti menang. Orang itu pasti masuk penjara. Karena semua orang bisa saya atur.
Belakangan saya dengar banyak publik yang membela orang itu. Saya tak perduli. Silakan saja. Biar mereka tahu siapa saya. Biar mereka tahu siapa yang punya negara ini. Biar mereka tahu siapa yang mengatur persiden.
Terus, apakah ucapan itu bisa disebut kritik? Bagi saya, tidak. Itu bukan kritik. Kalau para pakar demokrasi mengatakan itu kritik, saya tak perduli. Saya mau hajar itu orang. Supaya yang lain-lain tak berani lagi mengkritik saya.
Kebebasan berbicara? Kebebasan berpendapat? No way. Tidak ada itu. Mau kalian bawa ke mana, silakan saja.
Saya ini Menko. Kekuasaan saya besar. Saya berkuasa penuh. Kalian mau apa? (*)