Refleksi atas Musrenbang: Antara Janji Partisipasi dan Realitas Formalitas Pembangunan

AI

Tulisan ini berdasarkan analisis yang dimuat di Persuasi News, yang dapat dibaca lebih lengkap di “Musrenbang yang Mandul, Antara Janji Partisipasi dan Realitas Formalitas Pembangunan” (https://persuasi-news.com/musrenbang-yang-mandul-antara-janji-partisipasi-dan-realitas-formalitas-pembangunan/). Tulisan tersebut menggambarkan betapa ironisnya Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)—forum yang seharusnya menjadi wujud partisipasi masyarakat—justru sering berakhir menjadi seremoni tanpa substansi. Pengalaman di Kota Depok memperlihatkan bahwa semangat partisipasi kerap berhenti di meja rapat, bukan pada kebijakan nyata.

Musrenbang dan Janji yang Tak Terealisasi

Bacaan Lainnya

Masyarakat Kecamatan Sawangan, Depok, telah berulang kali mengusulkan pembangunan rumah aman atau shelter bagi korban kekerasan, perempuan, anak jalanan, dan penyandang disabilitas. Ide ini lahir dari kebutuhan riil—memberikan perlindungan sementara bagi mereka yang hidup dalam ancaman. Namun, hingga 2025, rumah aman tersebut belum juga terwujud.

Sebaliknya, hasil Musrenbang lebih banyak menyoroti perbaikan infrastruktur fisik seperti jalan dan rumah tidak layak huni. Laporan Musrenbang 2023, misalnya, menunjukkan bahwa 63 rumah diperbaiki di Kelurahan Grogol, sebagian besar berasal dari pokok pikiran anggota dewan, bukan dari usulan masyarakat. Ironi yang menohok: rumah rakyat dibangun dari aspirasi elite, sementara rumah aman bagi korban kekerasan tetap menjadi wacana.

Kebijakan Pemda Depok: Antara Niat dan Formalitas

Pemerintah Kota Depok sebenarnya memiliki sejumlah kebijakan untuk mengatasi isu anak jalanan, ojek payung anak, dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Beberapa langkah tersebut meliputi:

– Imbauan moral tanpa eksekusi struktural. Pemkot Depok mengeluarkan surat edaran yang melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) menggunakan jasa anak ojek payung, dengan alasan mencegah bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Kebijakan ini lebih bersifat moralistik, tidak diikuti dengan program rehabilitasi sosial yang konkret.

– Layanan pengaduan dan pendampingan. Melalui UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), pemerintah memberikan layanan hukum, psikologis, serta pendampingan bagi korban kekerasan. Namun, ketiadaan shelter permanen membuat upaya perlindungan sering berhenti pada pendampingan, bukan pemulihan menyeluruh. Korban kekerasan sering dirujuk ke kota lain seperti Bogor atau Jakarta untuk mendapatkan tempat aman.

– Pendidikan kesetaraan bagi anak jalanan. Dinas Pendidikan Depok menyediakan pendidikan alternatif (Paket A, B, dan C) bagi anak-anak yang putus sekolah, termasuk anak jalanan. Meskipun ini langkah positif, pendekatannya masih parsial—belum menjawab akar masalah sosial dan ekonomi keluarga miskin urban.

– Program konsultasi keluarga. Melalui inisiatif seperti Pondok Konsultasi Keluarga Depok Jaya (PONSEL DJ), pemerintah memberikan layanan konseling keluarga berbasis komunitas untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Sayangnya, jangkauannya masih terbatas dan tidak disertai intervensi ekonomi bagi keluarga rentan.

Hingga kini, keberadaan shelter permanen bagi korban kekerasan di Depok masih belum optimal, meskipun upaya menyediakan perlindungan sementara dan pendampingan sudah dilakukan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan sosial di Depok lebih menonjolkan simbol dan imbauan tanpa sistem perlindungan sosial yang operasional dan menyeluruh.

Anak Jalanan dan Ojek Payung: Cermin Gagalnya Perlindungan Sosial

Fenomena anak jalanan dan ojek payung anak di kawasan Margonda, terminal Depok Baru, dan sekitar Balai Kota menjadi potret nyata dari ketimpangan sosial. Anak-anak ini hidup di ruang publik, bekerja di bawah hujan dan tatapan iba, menjadi saksi bagaimana kebijakan sosial gagal menyentuh permukaan realitas.

Mereka bukan hanya korban kemiskinan, tetapi juga korban sistem yang tidak memiliki rancangan perlindungan jangka panjang. Tanpa rumah aman, tanpa rehabilitasi sosial, mereka terus kembali ke jalan setiap kali program bantuan selesai.

Musrenbang sejatinya bisa menjadi sarana perencanaan partisipatif yang merangkul kelompok rentan ini. Namun, forum tersebut sering didominasi oleh jargon teknokratis dan prioritas proyek fisik. “Pemberdayaan sosial” hanya menjadi istilah dalam dokumen, bukan tindakan nyata di lapangan.

Ketimpangan Anggaran dan Paradoks Prioritas

Ironisnya, di tengah keterbatasan fasilitas sosial, Pemerintah Kota Depok justru mencatat anggaran perjalanan dinas sebesar Rp83,7 miliar pada 2024—dengan Rp70 miliar di antaranya digunakan untuk perjalanan dalam negeri. Sementara itu, usulan masyarakat untuk rumah aman, layanan rehabilitasi anak jalanan, dan program pelatihan ekonomi produktif perempuan tidak kunjung direalisasikan.

Kebijakan pusat pun menambah tekanan: pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp227 triliun menyebabkan daerah harus memangkas pengeluaran non-prioritas. Di Depok, TKD diprediksi turun Rp451 miliar pada 2026, memaksa pemangkasan biaya rapat dan seminar hingga 50%. Ini seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang arah prioritas menuju pembangunan yang berpihak pada masyarakat rentan.

Reformasi Musrenbang: Dari Rutinitas ke Gerakan

Reformasi Musrenbang tidak cukup hanya digitalisasi atau spanduk bertema partisipatif. Dibutuhkan keberanian politik untuk mengubah mekanisme pengambilan keputusan agar tidak sekadar seremonial.

– Transparansi anggaran publik wajib dibuka setidaknya tiga bulan sebelum Musrenbang, agar masyarakat bisa menilai apakah usulannya diakomodasi.

– Keterlibatan masyarakat sipil dan kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas harus dijamin dalam Peraturan Daerah, bukan sekadar undangan simbolik.

– Fasilitas sosial seperti rumah aman harus dimasukkan ke dalam prioritas wajib daerah, sejajar dengan pembangunan fisik.

Partisipasi bukanlah bonus demokrasi, melainkan hak warga negara. Transparansi bukan hiasan laporan, melainkan fondasi kepercayaan. Tanpa itu, Musrenbang akan tetap menjadi rutinitas tahunan yang menenangkan birokrat, tetapi menelantarkan rakyat.

Penutup Refleksif dan Moralistik

Di balik angka dan kebijakan formal, terdapat wajah-wajah anak yang harus bertahan hidup di jalanan, anak-anak ojek payung yang menjalani hari-hari penuh ketidakpastian dan risiko. Ada juga perempuan dan anak korban kekerasan yang menanti tempat aman, tempat untuk pulih dan bermimpi lagi. Mereka bukan hanya statistik atau obyek program, melainkan manusia—yang layak mendapatkan perlindungan dan harapan.

Kegagalan menyediakan rumah aman bukan sekadar kegagalan pembangunan fisik, melainkan kegagalan moral kita bersama. Musrenbang yang sejati harus mengubah wajah anak-anak dan perempuan ini dari korban menjadi subjek dalam perencanaan pembangunan. Saat partisipasi mereka benar-benar didengar dan diakomodasi, hingga anggaran dialokasikan dengan keberpihakan, maka pembangunan hadir bukan hanya sebagai simbol, melainkan sebagai keadilan sosial yang nyata.

Musrenbang harus menjadi ruang dimana mimpi kecil mereka bisa mulai diwujudkan, bukan hanya menjadi rutinitas formalitas yang menguatkan jarak antara janji dan realita. Mengubah realitas ini memerlukan keberanian politik dan kemauan bersama untuk menempatkan manusia di atas segalanya.

Daftar Pustaka

Antara News. (2024). Pemkot Depok Imbau ASN Tidak Gunakan Jasa Ojek Payung Anak. Diakses dari “megapolitan.antaranews.com” (https://megapolitan.antaranews.com/berita/63877/pemkot-depok-imbau-asn-tidak-gunakan-jasa-ojek-payung)

Berita Depok. (2024). UPTD PPA Depok Siap Layani Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak. Diakses dari “berita.depok.go.id” (https://berita.depok.go.id/uptd-ppa-depok-siap-layani-kasus-kekerasan-perempuan-dan-anak)

Republika. (2023). Disdik Depok Berikan Pendidikan Kesetaraan bagi Anak Jalanan. Diakses dari “rejabar.republika.co.id” (https://rejabar.republika.co.id/berita/qo35og484/disdik-depok-berikan-pendidikan-kesetaraan-bagi-anak-jalanan)

UIN Jakarta Repository. (2024). Pondok Konsultasi Keluarga Depok Jaya (PONSEL DJ): Model Edukasi Keluarga dan Pencegahan Kekerasan Anak.

BPS Kota Depok. (2025). Statistik Kesejahteraan Sosial Kota Depok 2025.

Kementerian Keuangan RI. (2025). Outlook Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) 2025.

Pemerintah Kota Depok. (2025). Laporan Realisasi Anggaran dan Musrenbang Kota Depok Tahun 2025.

 

Novita Sari Yahya:
Penulis dan peneliti

 

 

Pos terkait