Kumbanews.com – Ormas Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Mitra Kamtibmas (PPMK) melaporkan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan ke Bareskrim Polri.
Novel Baswedan dilaporkan lantaran dianggap melakukan provokasi atas cuitannya di akun Twitter miliknya yang mengomentari wafatnya Soni Eranata alias Ustaz Maaher At-Thuwailibi di Rutan Bareskrim.
Pelaporan tersebut lantas menuai banyak sorotan dari berbagai pihak, salah satunya pengamat politik, Rocky Gerung.
Menurutnya, apabila Novel Baswedan diproses, hal itu berarti kepolisian mengabaikan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dikritik.
“Kalau diproses artinya justru polisi yang mengabaikan permintaan Presiden, jadi polisi enggak peduli mau Presiden ngomong apa, pokoknya tangkap saja,” tuturnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari kanal YouTube Rocky Gerung Official pada Jumat, 12 Februari 2021.
Rocky Gerung menilai bahwa polisi sebagai aparat yang berada di bawah Presiden tidak membaca headline soal pernyataan Jokowi tersebut.
“Bahkan Novel enggak kasih kritik, dia cuma memberi peringatan karena masyarakat menduga ada hal yang kurang etis,” tuturnya.
“Novel itu bukan lakukan kritik atau penghinaan, justru setelah semua orang ribut, Novel masuk di dalam keributan yang sama,” lanjut dia.
Ia berpendapat bahwa hal itu bukan suatu keributan, tetapi suara hati.
“Jadi bagaimana mungkin setiap kali orang mengucapkan kejujuran dari suara hatinya, itu langsung dinyatakan akan diproses,” ujar Rocky Gerung.
Dengan demikian, kata dia, alangkah lebih baik apabila dibuat semacam prinsip keadilan.
“Ini kan berita nasional, jadi kelihatannya bahwa ada sponsor di belakang ucapan Presiden itu, yakni pemetaan politik,” kata akademisi itu.
Di samping perayaan Imlek, ia juga menyinggung satu peristiwa di negeri China ketika awal Revolusi Kebudayaan.
“Mao Tse Tung mengungkapkan suatu prinsip yang dia sebut, ‘Biarkan seribu kembang mekar’. Lalu orang merasa wah Mao Tse Tung sedang memproduksi dan mengaktifkan demokrasi,” ucapnya.
Ternyata, lanjut dia, yang dimaksud Mao Tse Tung adalah, “Silakan semua orang berpikir berbeda”.
“Karena itu dia perlukan untuk pemetaan politik. Setelah itu, dia pangkas semua kembang itu. Dan itulah ujung dari kekerasan politik di China,” kata dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) itu.
Lebih lanjut, Rocky Gerung mempertanyakan untuk apa minta kembang bertumbuh, jika di depannya sudah ada gunting untuk memangkasnya.
Ia menilai hal tersebut sebagai paradoks dari ucapan dan pernyataan Presiden Jokowi.
“Karena itu saya selalu mencurigai bahwa ucapan Presiden Jokowi adalah umpan untuk memetakan sisa-sisa oposisi,” kata Rocky Gerung.(*)