RSUP Tajuddin Chalid Dituding Bungkam Media, Pengamat: Ini Bukan Klarifikasi, Tapi Intimidasi!

Tampak gedung RSUP dr. Tajuddin Chalid Makassar yang kini disorot publik usai dugaan tekanan terhadap sejumlah media mencuat. (Foto: dok. Matanusantara)

Kumbanews.com – Dugaan adanya tekanan dari pihak RSUP dr. Tajuddin Chalid Makassar terhadap sejumlah media agar menghapus video kritik masyarakat di media sosial memicu gelombang reaksi dari publik dan kalangan pengamat.

Sikap lembaga kesehatan milik pemerintah itu dinilai mencederai prinsip keterbukaan informasi publik dan mengancam kemerdekaan pers.

Bacaan Lainnya

Video yang beredar sebelumnya menyoroti pelayanan publik dan transparansi informasi di rumah sakit tersebut. Sejumlah media bahkan telah memuat klarifikasi resmi dari pihak RSUP untuk menjaga keseimbangan pemberitaan. Namun, belakangan muncul tekanan agar seluruh video kritik itu dihapus dari platform media sosial.

“Redaksi kami sudah memuat klarifikasi. Tapi setelah tayang, kami justru diminta menghapus semua video kritik di media sosial. Ini tidak sehat bagi ekosistem informasi,” ujar seorang jurnalis lokal kepada Matanusantara.co.id, Sabtu (25/10).

Tekanan Berkedok Klarifikasi

Pengamat komunikasi publik dan hukum, M. Syafril Hamzah, S.H., M.H., menilai tindakan tersebut bukan sekadar miskomunikasi, melainkan bentuk tekanan terhadap kemerdekaan pers.

“Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pers jelas melarang segala bentuk penyensoran dan pembredelan. Jika lembaga publik memaksa media menghapus konten yang sudah diverifikasi, itu bentuk intervensi,” tegasnya.

Menurut Syafril, langkah RSUP Tajuddin Chalid tidak hanya bertentangan dengan semangat transparansi, tetapi juga mencerminkan resistensi terhadap kritik publik.

“Media bukan musuh. Media adalah perantara transparansi. Jika lembaga publik alergi terhadap kritik, itu gejala birokrasi yang tidak sehat,” ujarnya.

Embargo atau Intimidasi Informasi?

Syafril menjelaskan, dalam praktik jurnalistik dikenal istilah embargo berita kesepakatan profesional antara narasumber dan media untuk menunda publikasi karena alasan etis atau teknis. Namun, kasus RSUP Tajuddin Chalid justru menunjukkan hal sebaliknya.

“Kalau permintaan penghapusan datang sepihak dan bersifat memaksa, itu bukan embargo, melainkan intimidasi informasi. Ini mencederai fungsi kontrol sosial media,” tandasnya.

Ia menambahkan, tindakan semacam itu berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers yang mengancam pidana bagi siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik.

“Jika benar ada tekanan terhadap redaksi, itu dapat dikategorikan sebagai upaya menghambat kemerdekaan pers,” katanya.

Hak Jawab, Bukan Hak Menekan

Syafril menegaskan, lembaga publik yang merasa dirugikan oleh pemberitaan memiliki jalur hukum yang sah melalui hak jawab dan hak koreksi, bukan dengan menekan atau meminta penghapusan konten.

“Kalau memang ada kekeliruan dalam pemberitaan, gunakan hak jawab. Itu mekanisme resmi dan terhormat. Tapi jika memaksa media untuk membungkam kritik, itu bukan klarifikasi itu pembungkaman,” tegasnya.

Ia menutup dengan peringatan moral yang menohok.

“Kritik adalah cermin pelayanan. Kalau cermin dipecahkan, wajah lembaga itu sendiri yang hilang.”

Hingga berita ini diturunkan, pihak RSUP dr. Tajuddin Chalid Makassar belum memberikan tanggapan atas upaya konfirmasi dari Kumbanews.com terkait dugaan tekanan terhadap media.

 

Editor: M. Yusuf

 

 

Pos terkait