Self-Love dan Rumah Perlindungan Diri: Membangun Generasi Sehat Menuju Indonesia Emas 2045

Rumah Perlindungan Diri. (Ilustrasi AI)

Oleh Novita Sari Yahya

Di zaman serba cepat ini, orang bisa dengan mudah membeli kecantikan, tapi sulit menemukan ketenangan. Dunia berubah menjadi panggung besar tempat manusia berlomba-lomba menjadi versi terbaik dirinya — setidaknya di foto. Di tengah hiruk-pikuk itu, lahirlah gerakan self-love. Bukan sekadar tren media sosial, melainkan panggilan agar manusia, terutama generasi muda, belajar melindungi diri dari kerusakan fisik dan mental yang kian nyata.

Gerakan self-love berangkat dari kesadaran sederhana: tubuh bukan pajangan, dan pikiran bukan tempat sampah bagi tekanan sosial. Kampanye ini mengajak anak muda berhenti mengukur nilai diri dari bentuk wajah atau jumlah pengikut di media sosial. Kesehatan tubuh jauh lebih penting daripada sekadar tampil cantik; organ dalam perlu dijaga lebih dari sekadar mempercantik riasan luar.

Namun, di tengah semangat itu, muncul paradoks. Banyak orang berbicara tentang self-love, tetapi lupa bahwa mencintai diri sendiri tidak mudah dalam sistem sosial yang abai. Ketika layanan kesehatan masih mahal dan tenaga medis kewalahan, self-love berubah menjadi wacana kosong. Tidak semua orang mampu self-care jika biaya konsultasi psikolog setara dengan uang makan sebulan.

Kecantikan, Moral, dan Kepedulian terhadap Tubuh

Perempuan muda kini hidup di antara dua tekanan: tuntutan untuk cantik dan tuntutan untuk bermoral. Saat mereka merawat tubuh, muncul cibiran “terlalu modern”. Saat mereka menolak standar kecantikan, mereka disebut “tidak peduli terhadap diri”. Dunia seolah lupa bahwa perempuan memiliki hak atas tubuhnya — tanpa perlu penjelasan panjang.

Operasi plastik, diet ekstrem, dan iklan kecantikan yang menjanjikan kesempurnaan instan menjadi simbol zaman yang lebih peduli pada tampilan ketimbang kesehatan. Banyak perempuan rela mengorbankan organ tubuh demi wajah ideal — dari kerusakan hati akibat obat pelangsing hingga gangguan hormon karena kosmetik ilegal. Semua itu menunjukkan bahwa tubuh manusia kini hidup di bawah tekanan industri penampilan.

Gerakan self-love hadir untuk menyeimbangkan keadaan tersebut. Ia tidak menolak kecantikan, tetapi menolak tindakan medis berlebihan yang merusak tubuh dan jiwa. Menjaga diri bukan berarti menolak perawatan, melainkan bijak terhadap batas dan kebutuhan tubuh.

Rusia, China, dan Indonesia: Antara Disiplin dan Kebebasan

Menarik menilik kebijakan negara lain. Rusia dan China, misalnya, menertibkan perilaku sosial dengan disiplin keras: menutup ruang bagi narkoba, membatasi alkohol, bahkan mengawasi perilaku yang dianggap menyimpang. Banyak yang menilai pendekatan ini melanggar hak asasi, tetapi hasilnya efektif menekan penyalahgunaan narkoba dan minuman keras.

Indonesia tentu tak bisa meniru sepenuhnya. Kita hidup dalam sistem demokrasi yang menghormati kebebasan. Namun, kebebasan sering dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab. Negara takut disebut mengekang, masyarakat takut dianggap kolot, dan remaja dibiarkan menafsirkan kebebasan dengan caranya sendiri.

Yang dibutuhkan bukan pelarangan, bukan pula pembiaran — melainkan pendampingan.

Pendampingan Tenaga Kesehatan: Strategi Nyata

Salah satu gagasan penting untuk memperkuat kesehatan fisik dan mental generasi muda adalah menghadirkan tenaga kesehatan pendamping. Dalam sistem resilient and responsive health, satu tenaga medis bisa mendampingi seribu hingga dua ribu orang secara aktif. Mereka tidak hanya menunggu pasien di puskesmas, tetapi hadir di tengah masyarakat melalui kunjungan rumah, pendampingan keluarga, dan pemantauan kesehatan rutin.

Model ini terbukti efektif di banyak negara. Pendampingan menurunkan angka penyakit menular, meningkatkan kesadaran kesehatan, dan mempererat hubungan sosial antara masyarakat dan tenaga medis. Pendekatan ini bukan sekadar mengobati, tetapi juga mendidik.

Bayangkan jika setiap keluarga memiliki hubungan langsung dengan petugas kesehatan yang mengenal mereka — bukan sekadar nama di daftar pasien, melainkan manusia dengan latar dan risiko yang berbeda. Dengan cara ini, pencegahan HIV/AIDS, narkoba, hingga kekerasan seksual dapat dilakukan sejak dini, sebelum terlambat.

Dari Poster ke Pendampingan

Kampanye kesehatan kita sering berhenti di permukaan. Poster “Say No to Drugs” bertebaran, tetapi tak ada ruang aman bagi remaja untuk bertanya, “Bagaimana kalau saya sudah terlanjur mencoba?” Seminar tentang pergaulan bebas ramai, tetapi pembicara lebih sibuk menasihati daripada mendengarkan.

Kita lupa: remaja bukan objek yang harus diselamatkan, melainkan subjek yang perlu dilibatkan. Mereka butuh ruang untuk bicara tanpa dihakimi, tempat belajar tentang tubuh tanpa rasa malu. Self-love bisa menjadi pintu masuk — bukan sekadar motivasi, tetapi gerakan sosial yang menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab terhadap diri dan sesama.

Jika gerakan ini disinergikan dengan sistem pendampingan tenaga kesehatan, maka ia akan menjadi rumah perlindungan diri yang nyata.

Menuju Indonesia Emas 2045: Sehat, Tangguh, dan Peduli

Visi Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud jika manusianya sehat secara fisik dan mental. Generasi emas tidak lahir dari generasi yang cemas dan kehilangan arah. Gerakan self-love dapat menjadi fondasi moral dan sosial menuju generasi emas. Mencintai diri bukan berarti egois, melainkan bertanggung jawab terhadap kesehatan diri dan lingkungan.

Kita tak perlu meniru ketegasan Rusia atau China. Kita hanya perlu lebih peduli, lebih hadir, dan lebih mau mendampingi. Sebab bangsa yang kuat dibangun bukan dengan ketakutan, melainkan dengan kesadaran.

Self-love bukan sekadar kampanye, tetapi keberanian untuk merawat diri di tengah dunia yang sibuk menjual citra. Ia adalah perlindungan agar manusia tidak menjadi korban gaya hidup yang menipu. Dengan pendampingan tenaga kesehatan yang hadir hingga ke rumah, kita sedang menyiapkan fondasi kokoh bagi Indonesia menuju generasi emas.

Penutup Reflektif

Gerakan self-love bukan jargon kosong, tetapi panggilan nyata agar individu, masyarakat, dan negara berani menjaga kesehatan jiwa-raga. Di tengah janji kemajuan, jangan sampai kita lupa: fondasi bangsa adalah manusia yang sehat — bukan sekadar angka dalam statistik.

Sudah saatnya kita membangun rumah perlindungan diri bagi setiap warga. Dengan self-love dan pendampingan tenaga kesehatan, Indonesia Emas 2045 bukan sekadar impian di atas kertas, melainkan kenyataan yang bisa kita wujudkan bersama.

Daftar Referensi

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). (2023). Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian DPR RI.

Pemerintah Indonesia. (2024). Menuju Indonesia Emas: Revolusi SDM Kesehatan untuk Generasi 2045. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA). (2025). Self-Love dari Sudut Pandang Psikologi. Sidoarjo: Fakultas Psikologi UMSIDA.

Universitas Gadjah Mada (UGM). (2023). Hasil Survei I-NAMHS: Masalah Kesehatan Mental Remaja di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kesehatan Masyarakat UGM.

YAPPI Makassar. (2024). Analisis Kondisi Kesehatan Mental di Indonesia dan Strategi Penanganannya. Makassar: Jurnal STIAYAPPI.

Biodata Penulis

Penulis dan pemerhati isu sosial-budaya, kesehatan masyarakat, serta pendidikan karakter. Ia aktif menulis opini reflektif bertema perempuan, generasi muda, dan kebijakan publik.

Pos terkait