Masyarakat Sulawesi Selatan di gegerkan dengan kabar pengambilan paksa mayat yang diduga positif covid-19 di Kota Makassar. Kejadian itu tak serta merta dilakukan oleh keluarga pasien melainkan dengan dengan pertimbangan rasionalitas dan keyakinan serta rasa sakit kehilangan keluarganya yang mereka rasakan.
Di tengah kejadian itu pula, terdengar informasi bahwa keluarga mayat pasien covid-19, yang telah meninggal telah di panggil oleh pihak kepolisian untuk di ambil keterangannya.
Terlepas dari aspek pelayanan kesehatan dan informasi yang tidak merata dan masih kurang maksimal dengan proses rapid tes dan swab tes yang masih memprihatinkan dengan fasilitas apa adanya oleh RS. Rujukan pasien Covid-19 di Sulawesi Selatan.
Juga terlepas dari aspek penegakan hukum yang sementara dilakukan oleh pihak kepolisian.
Saya memandang kejadian ini dari sisi Ketuhanan atau lebih logisnya berdasarkan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” bahwa setiap masyarakat Indonesia pada prinsipnya masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda-beda termasuk budaya yang begitu mempengaruhi unsur keyakinan setiap masyarakat, bahwa terkhusus wilayah bugis Makassar selain mayoritas muslim juga memiliki identitas yang disebut siri’ na pacce yang pada kejadian tersebut jangankan orang mati, orang hidup saja kami siap saling membela jikalau kami memiliki ikatan darah, sersaudaraan maupun persahabatan.
Menelisik sila ke dua Pancasila tentang “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” saya hanya berharap mengetuk pintu hati para penegak hukum melalui tulisan ini bahwa sisi kemanusiaan harus menjadi asas pokok penegakan hukum, sebab sederhana menganalogikannya “keluarga kami sudah mati juga kami diproses hanya karena mengambil mayit keluarga kami yg juga belum tentu positif covid-19” inilah yang disebut pepatah “sudah jatuh tertimpah tangga lagi”.
Bahwa seyogyanya kita memposisikan diri seperti keluarga yang ditinggal akibat diagnosa yang diduga covid-19.
Tidak panjang kali lebar, semua ini diakibatkan kurangnya sosialosasi kepada masyarakat yang akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hasil diagnosa dengan imbas, kini masyarakat ketakutan berobat di rumah sakit karena takut di vonis covid-19. Dan jikalau betul anggaran alat kesehatan untuk penanganan covid ini terhitung tinggi dan di anggarkan per pasien termasuk pemakaman mayit, masyarakat yang meninggal covid-19 itu dengan anggaran yang begitu fantastis maka wajarlah masyarakat menilai bahwa covid-19 ini dijadikan lahan bisnis dan pendapatan yang luar biasa bagi oknum yang tidak bertanggungjawab.
Belum lagi bahwa keterbukaan informasi anggaran penangan covid-19 per pasien itu enggan di ekspos ke publik, maka semakin memperkuat kecurigaan masyarakat.
Alhasil sebagai kesimpulan bahwa nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang terterah dalam sila Pancasila agar diperhatikan secara seksama dalam penegakan hukum termasuk skema pidana kepada keluarga korban yang terpapar covid-19. Nilai humanis sangat kami harapkan bagi para pejuang covid-19 bagi tenaga kesehatan maupun aparat keamanan, memberikan pemahaman yang rasional itu sangat di butuhkan bagi masyarakat. Sebab mencegah lebih baik dari pada mengobati, seharusnya itu menjadi motto perjuangan dalam penanganan covid-19.
Coba sekiranya pemeritah dan gugus tugas terbuka kepada publik bahwa seperti apa hasil evaluasi PSBB yang pernah berjalan, apakah relevan dengan jumlah anggaran yang dikucurkan dan hasil maksimal yang di harapkan, jangan sampai terjadi pemborosan anggaran.
Muallim Bahar, SH (Ketua LBH GPK Sul-Sel)