Oleh: Zulkifli Malik
Penyelewengan dan penimbunan BBM jenis solar subsidi di Sulawesi Selatan (Sulsel) seolah sulit diberantas secara tuntas. Mengapa?
Kejahatan penjarahan BBM subsidi solar adalah bentuk penindasan hak rakyat miskin dan pengkhianatan terhadap negara.
Ironisnya, kejahatan ini terus berulang, bahkan seakan telah menjadi pola sistemik yang dijalankan oleh kelompok-kelompok mafia dengan jaringan kuat, termasuk kemungkinan keterlibatan oknum aparat.
Tentunya, situasi ini menjadi alarm keras bahwa penindakan hukum belum menyentuh akar masalah.
Dari catatan yang dirangkum penulis, dalam enam bulan terakhir, pengungkapan kasus penyalahgunaan dan penimbunan BBM solar subsidi oleh aparat kepolisian terjadi di sejumlah kabupaten/kota di Sulsel.
Seperti di Kabupaten Pangkep, polisi menggerebek rumah warga yang dijadikan gudang penimbunan, menyita 2 ton solar subsidi.
Di Pinrang, Polres berhasil menggagalkan pengangkutan solar subsidi menggunakan truk modifikasi.
Begitu pula di Kabupaten Luwu, di mana ratusan jeriken solar subsidi diamankan dari jaringan yang diduga kuat telah beroperasi lintas wilayah.
Sementara, kasus lain terjadi di Kota Makassar, di mana polisi mengamankan pelaku penjualan solar subsidi ke industri non-rakyat melalui SPBU nakal.
Modusnya: kendaraan tangki modifikasi bolak-balik mengisi dengan surat rekomendasi palsu.
Di Kabupaten Sidrap, Polres mengamankan ratusan liter solar yang dibeli oleh pelaku dengan memanfaatkan kartu nelayan palsu.
Dalam semua kasus ini, aktor-aktor lapangan hanya bagian kecil dari jaringan besar yang belum tersentuh.
Secara nasional, data dari BPH Migas mencatat bahwa sepanjang 2024, potensi kebocoran BBM subsidi mencapai lebih dari 1,2 juta kiloliter, dan sebagian besar terjadi di sektor transportasi darat dan kelautan.
Sulsel termasuk daerah yang masuk dalam zona merah distribusi BBM subsidi, terutama karena luas wilayah, pelabuhan aktif, serta jalur logistik yang tinggi.
Fakta ini memperkuat urgensi penindakan hukum yang komprehensif dan transparan.
Namun yang menjadi pertanyaan besar: mengapa kasus serupa terus terjadi meskipun sudah ada penindakan?
Jawaban paling logis adalah lemahnya komitmen dan integritas aparat penegak hukum dalam mengurai jaringan mafia ini hingga ke aktor intelektualnya.
Tak sedikit dugaan bahwa oknum aparat justru ikut bermain, entah sebagai pembekap, pelindung, atau bahkan bagian dari mata rantai distribusi ilegal solar subsidi.
Publik berhak curiga ketika kasus-kasus besar seperti ini hanya berhenti pada sopir, operator gudang, atau pemilik truk. Sementara pemilik modal dan pejabat yang memberikan akses atau meloloskan distribusi BBM subsidi secara curang, tak tersentuh hukum.
Ketika penyelidikan tidak menyentuh pemodal atau aktor di balik layar, maka penindakan tersebut hanyalah bentuk pencitraan hukum yang jauh dari keadilan.
Aparat Penegak Hukum (APH) harus diberi peringatan tegas: kalian dibayar oleh negara untuk melindungi rakyat, bukan untuk menjadi bagian dari kejahatan terorganisir.
Uang hasil penjarahan BBM subsidi adalah uang haram. Setiap oknum yang menikmatinya, langsung atau tidak langsung, berarti ikut menggerogoti hak subsidi nelayan, petani, dan sopir angkutan rakyat. Ini merupakan bentuk korupsi yang dilanggengkan bersama.
Pada hal, Presiden RI, Menteri ESDM, dan Kapolri sudah berkali-kali menegaskan pentingnya menjaga subsidi energi agar tepat sasaran.
Namun tanpa ketegasan dan integritas di tingkat daerah, terutama dari kepolisian dan kejaksaan, seruan itu hanya akan jadi slogan kosong.
Sulsel tidak boleh menjadi ladang empuk bagi mafia BBM, hanya karena aparatnya memilih tutup mata atau ikut menghitung cuan haram.
Publik menuntut tindakan konkret, buka semua daftar SPBU nakal, adili pemiliknya. Buka rekam jejak kartu rekomendasi subsidi yang digunakan, dan proses pihak-pihak yang memalsukan atau menyalahgunakannya.
Bongkar jaringan pengangkutan dan distribusi solar subsidi yang tidak sah, dan cari tahu siapa aktor intelektual di balik bisnis ilegal ini. Tak ada kompromi bagi pengkhianat negara.
Aparat harus sadar, saat kalian membiarkan mafia BBM beraksi, kalian sedang membunuh hak hidup rakyat kecil yang harus antri dan berebut solar untuk melaut atau mengangkut hasil tani.
Ketika kalian menutup kasus demi imbalan uang, kalian sedang menjual sumpah jabatan dan mencoreng kehormatan institusi penegak hukum. Tak ada harga yang setara dengan kehormatan dan kepercayaan publik yang dikhianati.
Sudah saatnya Sulawesi Selatan bangkit dari kepungan mafia BBM subsidi. Tetapi untuk itu, syarat utamanya adalah keberanian, ketulusan, dan ketegasanl dari aparat penegak hukum untuk benar-benar bekerja demi rakyat, bukan untuk kongkalikong dengan koruptor energi.
Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa para penjaga hukum justru jadi bagian dari perampok subsidi negara. Dan itu adalah noda yang tak akan pernah hilang. (Bersambung)