Ilustrasi
OLEH: SALAMUDDIN DAENG
DI jakarta tidak diinginkan pembangkit batubara, karena menimbulkan polusi. Demikian juga di kota kota besar lainnya. Pembangkit gas masih boleh. Walaupun bahan bakar gas juga fosil. Namun gas dianggap lebih ramah lingkungan.
Namun sekarang harga gas naik. Sementara harga batubara turun. Pembangkit batubara ada di luar Jakarta. Sebagian besar milik perusahaan swasta. Biaya PLTU batubara memang murah. Listrik mereka wajib dibeli oleh PLN dalam skema take or pay.
Dalam keadaan listtik over supply sekarang, ada keajaiban bagi PLN untuk tetap membeli listrik batubara yang sebagian besar dikuasai swasta. Sementara PLN harus tetap menyalakan atau menggunakan listrik dari sumber ramah lingkungan sebagai komitmen PLN terhadap target pemerintah. PLN jadi korban.
Hampir tidak ada kesempatan untuk meningkatkan kapasitas energi listrik dari sumber terbaharukan, karena terus dipepet oleh batubara. Di daerah-daerah terpencil dipepet oleh bahan bakar minyak solar. Bahkan untuk membangun PLTA sekalipun dipepet dengan berbagai pungutan. Setiap liter air yang dikonsumsi PLTA dipungut biaya tanpa logika yang benar.
Padahal, di masa mendatang energi kotor akan makin menimbulkan biaya ekonomi bagi PLN, biaya keuangan karena menderita bunga utang tinggi dan sulit mendapat pinjaman dari lembaga keuangan yang semakin pro lingkungan. Komitmen yang tertulis dalam road map bauran energi makin jauh panggang dari api. Ke depan energi kotor akan dikenai pajak 250 dolar per ton karbon yang dihasilkan. PLN akan jadi tumbal.
Persaingan antara pembangkit energi kotor dengan pembangkit ramah lingkungan akan semakin keras dan tidak sehat ke depan. PLN akan menjadi “The Killing Field” oleh tangan pemilik pembangkit. Rumah PLN akan dibakar oleh persaingan ini. Satu sisi PLN di bawah tekan untuk memenuhi komitmen energi ramah lingkungan oleh para pemberi utang. Sisi lain PLN di bawah tekanan oligarki kekuasaan untuk tetap membeli listrik pembangkit batubara.
Bagaimana pembangkit milik PLN? Tidak ada ampun dalam keadaan listrik over supply seperti sekarang ini maka milik PLN dimatikan. Yang dimatikan lebih dulu adalah pembangkit dari energi ramah lingkungan. Korban pertama karena biayanya mahal. Korban kedua adalah pembangkit non EBT milik PLN harus dimatikan demi menyerap listrik swasta. Padahal 70 persen keuntungan PLN adalah dari pembangkit. Margin ritel sudah bagian para pengecer.
Sementara dalam hal keuangan PLN rugi. Pada bagian lain piutang pemerintah kepada PLN tidak kunjung dibayar. Kesempatan PLN untuk mendapat untung tidak ada karena tidak bisa bernegosiasi dalam urusan harga bahan bakar dan harga listrik swasta karena telah terikat kontrak. Para penguasa di atas sebagian besar adalah bandar batubara.
PLN The killling Fielld, rakyat jadi korban. Ngeri ini keadaan.(*)