Kumbanews.com – Ribuan massa dari berbagai elemen dan perguruan tinggi di Kota Kendari, menggelar aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mulai berlangsung ricuh, Kamis (08/10/2020).Bentrokan masih berlangsung hingga saat ini antara aparat dan para pedemo.
Massa aksi yang sejak pukul 10.00 wita bergerak dari berbagai elemen, di Kota Kendari ini mendesak mencabut Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR RI.
Usai diterima Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Shaleh, sebagian massa menarik diri. Namun beberapa di antaranya masih bertahan dan menggelar orasi.
Sekira pukul 15.00 WITa, massa kembali mencoba masuk gedung DPRD Sultra untuk mengajukan protes terhadap pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, situasi mulai memanas karena mahasiswa menganggap pernyataan dukungan Ketua DPRD Sultra menolak Omnibus Law politis belaka.
Aksi pelemparan batu hingga kayu membuat sejumlah bagian kantor DPRD Sultra hancur. Mulanya, para pedemo dari unsur buruh dan mahasiswa sempat menduduki halaman kantor gedung, namun dipukul mundur polisi antihuru-hara.
Massa yang kemudian memaksa masuk lantas dihalau oleh aparat keamanan yang berjaga. Massa kemudian protes dan melemparkan batu dan kayu ke arah gedung DPRD Sultra. Sejumlah kaca kantor dan papan nama gedung rakyat itu rusak. Polisi kemudian mencoba membubarkan massa menggunakan gas air mata. Akibatnya, massa berhamburan di jalanan.
Meski sudah ditembakkan gas air mata, mahasiswa kembali ke gedung DPRD Sultra dan melempar benda keras ke arah aparat.
Hingga saat ini, bentrokan antara mahasiswa dan polisi masih berlangsung. Aparat beberapa kali menembakkan gas air mata ke arah massa. Sementara mahasiswa bertahan di jalan utama Kota Kendari dengan cara membakar ban bekas.
Menurut Madi dari aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Cabang Kendari, UU Omnibus Law merupakan produk regulasi kapitalis yang diusulkan pemerintah dan disepakati oleh DPR RI.
Menurut dia, agenda kapitalis ini tidak bisa terpisahkan karena elit politik Indonesia adalah bagian dari pelaku kapitalis dan pemilik modal di Indonesia.
“Omnibus Law jelas aturan tidak pro rakyat. Lebih mengutamakan kepentingan kapitalis dari pada kaum buruh,” katanya.(*)