Kumbanews.com – Tradisi hijab bermotif agama tampak mencolok dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Dr Menachem M. Brayer (Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva) dalam bukunya, The Jewish Woman in Rabbinic Literature, menulis tentang kewajiban pemakaian hijab oleh wanita-wanita Yahudi.
Dr Menachem mengutip pernyataan rabi (pendeta Yahudi) zaman dahulu yang cukup terkenal, ”It is not like the daughters of Israel to walk out with heads uncovered” (tidaklah pantas anak-anak perempuan Israel berjalan keluar tanpa penutup kepala).
Ia juga mengutip kata-kata populer lain, ”Cursed be the man who lets the hair of his wife be seen … a woman who exposes her hair for self-adornment brings poverty” (terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut istrinya terlihat … wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan).
Lebih lanjut Menachem menjelaskan, jilbab bagi wanita Yahudi tidak selalu berhubungan dengan kesopanan. Kadang-kadang ia menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Oleh karena itu, banyak wanita Yahudi di Eropa tetap menggunakan jilbab sampai abad ke-19 M meski mereka hidup di tengah budaya Barat sekuler.
Akan tetapi, tekanan eksternal dari masyarakat Eropa memaksa banyak dari mereka pergi keluar tanpa penutup kepala. Beberapa wanita Yahudi kemudian lebih cenderung menggantikan penutup tradisional mereka dengan rambut palsu sebagai bentuk lain dari penutup kepala. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang saleh memakai penutup kepala hanya jika mereka mengunjungi sinagog (tempat ibadah Yahudi).
Sementara itu, dalam agama Kristen, sampai hari ini para biarawati Katolik masih menutup kepalanya. Tradisi ini sudah ada sejak 400 tahun yang lalu. Dikisahkan Menachem, agamawan Kristen dari golongan Amish dan Mennonites pernah mengatakan, ”The head covering is a symbol of woman’s subjection to the man and to God” (penutup kepala adalah simbol dari kepatuhan wanita kepada laki-laki dan Tuhan).
Motif pemakaian hijab dalam Islam maupun agama-agama lain tampak beragam. Sebagian dilandasi alasan agama dan sebagian lain karena alasan sosial. Di kalangan umat Muslim, terdapat kelompok yang berkeyakinan bahwa memakai jilbab adalah bagian dari kewajiban agama. Dan, karena itu, merasa lebih dekat dengan Islam. Apa pun alasannya, sikap saling menghormati antarumat adalah solusi memupuk keharmonisan sosial. (*)