Universitas Columbia/Net
Kumbanews.com – Universitas Columbia, salah satu institusi pendidikan tinggi paling bergengsi di Amerika Serikat, akan membayar denda sebesar 200 juta dolar AS atau Rp3,2 triliun kepada pemerintah AS.
Pembayaran denda dilakukan sebagai bagian dari penyelesaian sengketa yang mencuat akibat protes pro-Palestina di kampus mereka dan tekanan dari Presiden Donald Trump.
Langkah tersebut juga diambil untuk memulihkan sebagian besar dana federal Columbia yang sebelumnya dihentikan atau dibekukan pemerintah sejak Maret 2025.
Tak sampai di situ, Columbia juga akan membayar tambahan 21 juta dolar AS atau Rp342 miliar untuk menyelesaikan investigasi dari Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) terkait tuduhan pelanggaran diskriminasi.
“Universitas Columbia telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Amerika Serikat untuk menyelesaikan beberapa investigasi lembaga federal terkait dugaan pelanggaran undang-undang antidiskriminasi federal,” bunyi pernyataan resmi universitas tersebut, seperti dikutip dari New York Post pada Kamis, 24 Juli 2025.
Penyelesaian dilakukan setelah Trump, yang secara terbuka mengkritik universitas-universitas elite karena dianggap gagal melindungi mahasiswa Yahudi dari tindakan antisemitisme, mengancam akan mencabut dana federal.
Ia juga menuduh Columbia dan institusi sejenis telah mencuci otak mahasiswa agar menentang nilai-nilai nasionalis yang ia usung.
Kesepakatan dengan Columbia dipandang sebagai kemenangan politik bagi Trump, yang sebelumnya mendesak langkah-langkah keras terhadap institusi yang ia anggap bias terhadap agenda sayap kanan.
Trump menekan universitas dengan mempersoalkan sikap mereka terhadap gelombang protes pro-Palestina yang meletus di tengah perang Israel-Gaza.
Penjabat Presiden Columbia, Claire Shipman menyebut perjanjian ini menandai langkah maju yang penting setelah periode pengawasan federal yang berkelanjutan dan ketidakpastian kelembagaan.
Shipman juga menekankan bahwa kesepakatan itu dirancang untuk tetap menjaga nilai-nilai akademik universitas.
“Yang terpenting, ini menjaga independensi kami, sebuah syarat penting bagi keunggulan akademik dan eksplorasi ilmiah, karya yang vital bagi kepentingan publik,” jelasnya.
Langkah-langkah tersebut menuai kecaman dari kelompok hak asasi dan mahasiswa, terutama setelah dua mahasiswa asal Palestina, Mahmoud Khalil dan Mohsen Mahdawi, ditahan oleh agen Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) di tengah meningkatnya ketegangan kampus.
Columbia sebelumnya juga mendapat kritik keras karena tindakan tegas terhadap demonstran pro-Palestina, termasuk penangguhan dan pengusiran mahasiswa.
Demonstrasi di Columbia sempat menjadi sorotan nasional, dan menjadi pemicu bagi anggota Partai Republik di Kongres untuk menginterogasi para pemimpin pendidikan tinggi soal dugaan antisemitisme.
Akibat tekanan tersebut, Presiden Columbia saat itu, Minouche Shafik, mengundurkan diri pada Agustus lalu, hanya beberapa pekan sebelum semester baru dimulai.
Sumber: RMOL