Buku dan Pemikiran: Senjata yang Lebih Ampuh daripada Pedang

Ilustrasi 

*Oleh: Novita Sari Yahya 

Pentingnya Buku dalam Perjuangan Kemerdekaan

Sejarah membuktikan bahwa para pendiri bangsa Indonesia adalah pembaca yang haus pengetahuan. Mohammad Hatta, misalnya, saat diasingkan ke Boven Digoel pada 1927, membawa 16 peti buku. Baginya, penjara tidak menjadi masalah selama ia ditemani buku. Hatta berkata, “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Alih-alih melemahkan, pengasingan justru memberi ruang bagi Hatta untuk belajar dan merumuskan gagasan tentang kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda memang sangat khawatir pada pikiran bebas. Mereka tahu, tulisan mampu membangkitkan kesadaran, mengubah cara pandang, dan membebaskan manusia dari penindasan. Pemikiran tak bisa dipenjara; ia justru menjadi sarana pembelajaran dan pembebasan.

Kekuatan Narasi dalam Mengubah Kesadaran Kolektif

Yang paling ditakuti kolonialisme adalah narasi yang membangkitkan kesadaran kolektif. Novel Max Havelaar karya Multatuli (1860) menjadi contoh nyata. Buku ini mengungkap penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa, memicu kegemparan di Belanda, dan mengguncang nurani elite penguasa.

Dampaknya tidak kecil: rasa malu itu mendorong lahirnya Politik Etis pada 1901, dengan program irigasi, pendidikan, dan emigrasi. Dari sana, jalan bagi lahirnya kaum terdidik bumiputra kian terbuka. Bahkan pada 2022, Belanda akhirnya menyampaikan permintaan maaf resmi atas kekerasan ekstrem dan eksploitasi kolonial. Semua berawal dari sebuah buku.

Pendidikan dan Kritik terhadap Pendudukan Jepang

Masa pendudukan Jepang (1942–1945) menunjukkan kontras yang tajam. Sutan Sjahrir, intelektual sekaligus perdana menteri pertama Indonesia, menolak sistem pendidikan militeristik Jepang yang meniadakan ruang berpikir kritis. Ia khawatir fasisme Jepang berpadu dengan sisa feodalisme lokal akan menghambat lahirnya kemerdekaan sejati.

Sjahrir menegaskan, revolusi Indonesia harus bersih dari warisan fasisme. Tanpa kelompok terdidik yang berpikir kritis dan berani menuliskan gagasan tentang Pancasila serta UUD 1945, kemerdekaan Indonesia mungkin hanya tinggal mimpi.

Kaderisasi dan Pendidikan Politik

Pelajaran ini relevan hingga kini, khususnya dalam kaderisasi partai politik. Mutu kader mencerminkan mutu pemimpinnya. Partai Indonesia Raya (Parindra), yang berdiri pada 1935, memberi teladan lewat kaderisasi berbasis pendidikan nasionalis dan kooperatif.

Di Jambi, Parindra dipelopori Dr. Sagaf Yahya, dokter asal Minangkabau yang juga residen pertama Jambi. Ia merekrut intelektual muda untuk memperkuat perjuangan anti-kolonial. Dalam proses itu, kemampuan membaca dan menulis menjadi syarat utama. Buku menjadi fondasi bagi lahirnya kader-kader dengan visi tajam.

Peran Keluarga dalam Membentuk Pemikiran

Tradisi membaca sering tumbuh dari keluarga. Ayah saya, Dr. Enir Reni Sagaf Yahya, lulusan Universitas Andalas dan pernah bertugas sebagai dokter di Malaysia (1979–1988), adalah pembaca tekun. Ia bisa menamatkan sepuluh koran setiap hari plus beberapa majalah.

Kebiasaan ini menular pada anak-anaknya. Figur ayah yang gemar membaca akan melahirkan generasi yang terbiasa berpikir kritis. Sebaliknya, ayah yang hanya mengejar materi atau takut pada buku justru akan menumbuhkan pola pikir konsumtif. Di sinilah relevansi ucapan Bung Hatta: “Dengan buku, aku bebas.”

Penutup

Sejarah Indonesia memperlihatkan betapa buku dan pemikiran adalah senjata strategis. Dari Max Havelaar yang mengubah kebijakan kolonial, Sjahrir yang menolak fasisme, hingga Parindra yang melahirkan kader nasionalis semua menunjukkan kekuatan pengetahuan.

Membaca dan menulis bukan sekadar hobi, melainkan investasi jangka panjang bagi kebebasan intelektual. Dengan buku, bangsa ini menemukan jalannya menuju kemerdekaan, dan dengan buku pula kualitas kepemimpinan di masa depan akan ditentukan.

Pos terkait