Di era digital sekarang, salah satu hiburan sekaligus cermin sosial yang paling sering ditemui di media sosial adalah meme yang menampilkan wajah pejabat negara. Jika dilakukan survei global, hampir pasti Indonesia termasuk negara dengan jumlah meme terbanyak yang menyorot pejabat publik. Fenomena ini bukan hanya menunjukkan kreativitas masyarakat, tetapi juga mencerminkan keresahan dan kritik sosial terhadap penguasa.
Mochtar Lubis pernah menyebut bangsa Indonesia sebagai bangsa yang artistik. Kreativitas ini terlihat dalam cara warga merespons politik dan fenomena sosial dengan humor, satire, dan meme yang cepat viral. Namun, bila ditelaah lebih jauh, meme juga menjadi cermin mentalitas bangsa yang lahir dari sejarah panjang penjajahan dan kondisi post-kolonial.
Dalam tulisannya di Kompas 4 Desember 2010 berjudul Inlander Dinilai (Anwar, 2010), Rosihan Anwar mengutip pandangan wartawan Belanda Willem Walraven tentang mental “inlander”—istilah kolonial Belanda untuk penduduk pribumi. Walraven menulis kepada pengarang Rob Nieuwenhuys pada 15 Maret 1941 bahwa orang Indonesia sangat gemar berpolitik, bahkan dalam kehidupan sehari-hari: “hidup pun berpolitik, mati pun berpolitik.” Konflik lokal sering muncul dari hal sepele, menunjukkan kohesi sosial yang rapuh.
Rosihan Anwar juga menyebut pengamatan seorang rohaniwan Belanda yang telah 30 tahun berdiam di Indonesia—seperti yang dikutip pengarang Wischer Hulst dalam bukunya Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici (Hulst, 1980)—yang menyoroti perilaku sosial dan konflik di kalangan pribumi: “Ini adalah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia dilahirkan dengan naluri politik, dan mereka mati dengan cara itu pula.”
Pertanyaannya, apakah mentalitas kolonial ini masih relevan setelah lebih dari 80 tahun kemerdekaan? Fenomena ini bisa dijelaskan dengan istilah amnesia post-kolonial: mental lama yang seharusnya terkikis ternyata masih membekas dalam perilaku sosial dan politik.
Salah satu manifestasinya terlihat dari respons masyarakat terhadap meme pejabat yang bersifat satir atau kasar. Bagaimana perasaan keluarga pejabat yang wajahnya menjadi bahan tertawaan? Kenyataannya, tidak selalu memicu perubahan perilaku. Mental kolonial yang melekat—hipokrisi, menghindar dari tanggung jawab, dan materialisme—membuat banyak pihak merasa aman selama kehidupan materi mereka tetap nyaman.
Contohnya, kerusuhan pada 30 Agustus 2025 yang berujung penjarahan rumah anggota DPR di Jakarta, seperti yang dilaporkan Tempo (2025). Meski ada simpati publik, kenyamanan materi tetap menjadi prioritas, sehingga ribuan meme dan ejekan tidak membawa efek jera berarti bagi penguasa.
Jika dibandingkan dengan kultur politik di negara maju, seperti Jepang, respons pejabat yang terlibat korupsi berbeda drastis. Mereka kerap mengaku salah, meminta maaf, bahkan mundur demi menjaga moral publik dan kehormatan institusi. Di Indonesia, koruptor masih bisa tersenyum meski mengenakan rompi tahanan KPK. Air mata mereka sering kali untuk memohon belas kasihan, bukan penyesalan.
Mengapa banyak orang Indonesia lebih takut miskin daripada takut penjara? Materi masih menjadi parameter utama kehormatan dan keberhasilan. Hukuman yang efektif bukan hanya penjara, yang kadang dianggap “liburan,” melainkan perampasan total aset. Tanpa materi, gaya hidup glamor dan pamer kekayaan terkikis sehingga melemahkan kekuatan sosial mereka.
Sayangnya, hukum di Indonesia belum menegakkan perampasan aset secara tuntas. Menurut laporan Transparency International tahun 2024 (Transparency International, 2024), dari 5.000 kasus korupsi besar, hanya sekitar 27% aset berhasil dikembalikan sepenuhnya ke negara. Hal ini memperkuat kesan bahwa tidak ada perubahan berarti dalam mental pejabat dan elite.
Meme memang alat kontrol sosial yang powerful, tetapi tidak cukup untuk mengubah struktur sistem yang korup dan tidak transparan. Dibutuhkan reformasi mendasar pada sistem hukum dan budaya politik agar penguasa, pejabat, serta elite benar-benar takut dan bertanggung jawab.
Pelajaran bisa diambil dari Jepang dan negara Skandinavia, di mana pejabat yang korup menghadapi hukuman berat, pengembalian aset haram, dan denda maksimal. Tekanan sosial dan budaya membuat mereka memilih mundur untuk menjaga kehormatan pribadi dan institusi.
Indonesia harus menyesuaikan diri dengan penegakan hukum agar tidak terjebak mental “inlander” yang mengalami amnesia post-kolonial, bercirikan takut kehilangan harta dan enggan bertanggung jawab.
Meme bukan sekadar hiburan massa, tetapi tanda tanya besar tentang bagaimana bangsa ini mengikis mental feodalisme. Revolusi mental tidak akan berhasil tanpa sistem menegakkan keadilan dengan tegas dan masyarakat yang berani menuntut pertanggungjawaban.
Jika pejabat gagal merespons meme dengan introspeksi dan perbaikan, masyarakat tidak boleh berhenti menggunakan satire sebagai kontrol. Lebih dari itu, suara rakyat harus difasilitasi dalam sistem transparan yang menegakkan keadilan secara konsisten, dan mental feodalisme digantikan budaya demokrasi yang bermartabat dan jujur.
Referensi
Anwar, Rosihan. 2010. “Inlander Dinilai.” Kompas, 4 Desember.
Hulst, Wischer. 1980. Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici.
Tempo. 2025. “Kronologi Demo Memprotes DPR hingga Meluas Berubah Penjarahan.” 31 Agustus.
Transparency International. 2024. Corruption Perceptions Index 2024.
Novita Sari Yahya
Penulis dan peneliti
Instagram: @novita.kebangsaa
No. CP pembelian buku: 089520018812