Kumbanews.com – Respons cepat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terhadap sengketa lahan di kawasan Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, memantik sorotan tajam publik. Sengketa yang menyeret nama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) itu dianggap memperlihatkan ketimpangan nyata dalam penegakan keadilan pertanahan.
Bagi Aliansi Mahasiswa Anti Mafia Hukum, langkah kilat Menteri ATR/BPN dalam menanggapi kasus yang melibatkan tokoh nasional adalah bukti bahwa negara masih berwajah ganda dalam melayani rakyatnya.
“Sengketa tanah yang menyangkut tokoh besar ditangani cepat dan serius, tapi kasus rakyat kecil seperti jalan di tempat. Ini bentuk ketidakadilan yang sudah lama dibiarkan,” tegas Cimeng, Ketua Aliansi Mahasiswa Anti Mafia Hukum, Kamis (6/11/2025).
Menurutnya, di banyak daerah, petani dan warga kecil masih terjebak dalam sengketa tanah yang bertahun-tahun tak kunjung selesai. Namun begitu menyangkut lahan elite dan nama besar, negara seakan berlari menegakkan hukum.
“Ada pola ketimpangan yang jelas. Negara seolah lebih sigap ketika berhadapan dengan kekuasaan, tapi lamban ketika harus membela rakyatnya sendiri,” lanjut Cimeng.
Aliansi tersebut menilai penegakan hukum agraria kini semakin tampak berbasis kelas dan status sosial. Keadilan, katanya, hanya berpihak pada mereka yang punya akses dan pengaruh politik.
“Publik berhak bertanya: mengapa tanah elite diurus kilat, sementara ruang hidup rakyat kecil dibiarkan tanpa kepastian,” sindirnya.
Cimeng menegaskan, jika negara hanya hadir untuk melayani kepentingan kelompok berkuasa, maka asas keadilan telah runtuh. “Ini bukan sekadar soal administrasi tanah, tapi soal keberpihakan apakah hukum berdiri di atas kebenaran, atau di bawah bayang kekuasaan,” pungkasnya.
Aliansi Mahasiswa Anti Mafia Hukum juga mendesak pemerintah membuka transparansi status dan sejarah kepemilikan lahan Metro Tanjung Bunga, agar publik tahu siapa sebenarnya yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan.
“Tanah bukan sekadar aset tanah adalah hidup. Dan hidup rakyat tidak boleh dikorbankan demi kepentingan elite,” tutup Cimeng tegas. (**)





