Ilustrasi/Ist
Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla*
DALAM setiap peradaban dan masa, manusia selalu mempertanyakan satu hal yang sama: ‘Apa yang terjadi setelah kita mati?’ Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan, tetapi juga mencerminkan ketakutan, harapan, dan filosofi hidup manusia.
Salah satu jawaban yang muncul sejak ribuan tahun lalu adalah konsep reinkarnasi, keyakinan bahwa setelah meninggal, seseorang akan terlahir kembali dalam tubuh lain.
Konsep ini menjadi dasar penting dalam ajaran keagamaan besar seperti Hindu dan Budha. Namun, ia ditolak mentah-mentah oleh agama-agama monoteistik seperti Islam, dan belum mendapat pengakuan dari ilmu pengetahuan modern.
Ajaran Reinkarnasi dalam Agama Hindu dan Buddha
Dalam tradisi Hindu yang telah berakar sejak ribuan tahun silam, reinkarnasi bukan hanya sebuah keyakinan, tapi bagian integral dari sistem etika dan spiritual mereka. Dikenal dengan istilah samsara, siklus kelahiran dan kematian ini dijalani oleh jiwa (atman) yang abadi, sebagai akibat dari hukum karma, yakni hukum sebab-akibat atas perbuatan manusia.
Setiap kehidupan dianggap sebagai fase pembelajaran spiritual. Jiwa akan terus bereinkarnasi hingga mencapai moksa, atau kebebasan mutlak dari siklus kelahiran dan kematian. Moksa dicapai ketika jiwa terbebas dari keterikatan duniawi dan menyatu dengan realitas ilahi (Brahman).
Sementara dalam Buddhisme, ajaran reinkarnasi juga eksis, tetapi dengan pendekatan berbeda. Buddha Gautama menolak konsep “atman” atau jiwa kekal. Sebaliknya, Buddhisme mengajarkan prinsip Anatta, tidak ada “aku” yang tetap. Yang berpindah bukanlah jiwa, tetapi kesadaran dan karma dalam bentuk pola energi dan eksistensi. Tujuannya adalah keluar dari siklus samsara dan mencapai nirwana, yakni kondisi tanpa keinginan, tanpa penderitaan, tanpa kelahiran ulang.
Islam: Hidup Hanya Sekali, Kematian Sekali, dan Kehidupan Abadi Setelahnya
Berbeda total dengan ajaran Hindu dan Budha, Islam tidak mengenal reinkarnasi. Dalam Islam, manusia diciptakan dari tanah, diberi ruh oleh Tuhan, hidup satu kali di dunia sebagai ujian, lalu mati dan dibangkitkan kembali di hari kiamat untuk menerima ganjaran atau hukuman atas amalnya.
Kematian adalah pintu menuju alam barzakh, bukan kesempatan untuk lahir kembali. Dalam QS. Al-Mu’minun: 99–100 disebutkan bahwa orang yang telah mati ingin kembali ke dunia untuk berbuat baik, tetapi permintaan itu ditolak. Ini menjadi bukti eksplisit bahwa tidak ada siklus kelahiran ulang dalam Islam.
“…hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ’Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia)… Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah perkataan yang dia ucapkan saja” (QS. Al-Mu’minun: 99–100).
Islam memandang bahwa hidup ini satu-satunya kesempatan untuk mengukir amal. Tidak ada “kesempatan kedua” dalam tubuh lain, karena itu akan bertentangan dengan prinsip keadilan Tuhan dan tanggung jawab individual.
Pandangan Ilmu Pengetahuan: Masih Belum Terbukti Secara Empiris
Dalam dunia ilmiah dan empiris, konsep reinkarnasi tidak pernah benar-benar terbukti. Namun, bukan berarti tidak pernah diteliti. Salah satu tokoh paling terkenal dalam studi reinkarnasi adalah Dr. Ian Stevenson, seorang psikiater dari University of Virginia.
Ia mengumpulkan lebih dari 2.500 kasus anak-anak dari berbagai belahan dunia yang mengaku mengingat kehidupan masa lalu. Beberapa bahkan bisa menyebut nama, tempat, dan peristiwa secara rinci.
Namun, studi ini menghadapi banyak kritik dari komunitas ilmiah karena sifatnya subjektif, tidak dapat diulang (non-replicable), dan membuka kemungkinan faktor lain seperti:
1. Cryptomnesia: ingatan tak sadar dari cerita yang pernah didengar sebelumnya.
2. Konstruksi psikologis : anak-anak dapat membentuk cerita berdasarkan harapan lingkungan.
3. Priming sosial atau budaya: dalam masyarakat yang mempercayai reinkarnasi, anak-anak mungkin diarahkan tanpa sadar untuk mengembangkan narasi tersebut.
Dalam dunia neurosains, kesadaran sangat terkait dengan struktur biologis otak. Ketika otak mati, kesadaran pun lenyap. Sampai hari ini, tidak ada bukti ilmiah bahwa kesadaran bisa “melompat” ke tubuh lain atau eksis secara terpisah dari otak biologis.
Beberapa ilmuwan spekulatif mencoba mengaitkan kesadaran dengan energi kuantum atau informasi universal, namun ini belum masuk dalam kategori sains empiris, dan masih bersifat metafisik.
Secara filosofis, pertanyaan tentang hidup setelah mati masuk dalam kategori epistemologi metafisik, cabang filsafat yang mempelajari apa yang bisa diketahui tentang realitas di luar pengalaman langsung. Dalam konteks ini, agama dan filsafat spiritual menawarkan narasi-narasi yang memberi makna, sementara sains menuntut pembuktian rasional dan observasi.
Maka tak mengherankan jika reinkarnasi diterima oleh sebagian sebagai keyakinan religius, tapi belum mendapat tempat dalam kerangka ilmu pengetahuan modern.
Kesimpulan: Tiga Sudut Pandang, Satu Pertanyaan Besar
Reinkarnasi bukan hanya soal hidup kembali, tetapi tentang bagaimana manusia memaknai eksistensinya. Hindu dan Buddha melihatnya sebagai bagian dari perjalanan spiritual menuju kesempurnaan. Islam menolaknya dan menyatakan bahwa hidup adalah satu-satunya ladang amal. Sains, sementara itu, belum menemukan landasan bukti bahwa reinkarnasi benar-benar terjadi.
Masing-masing pandangan mengandung logika internal dan sistem nilai yang berbeda. Bagi umat beragama, penting untuk memahami ajaran masing-masing secara mendalam, tanpa mencampuradukkan keyakinan. Bagi kalangan ilmiah, penting untuk tetap terbuka namun kritis dalam menilai fenomena yang belum teruji secara objektif.
“Keyakinan tentang hidup setelah mati akan selalu menjadi ruang perenungan terdalam manusia. Baik melalui kitab suci, perenungan filsafat, maupun eksperimen ilmiah, manusia terus mencari makna di balik kematian. Namun satu hal pasti, kehidupan hari ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan”. rmol news logo article
*Penulis adalah Purnawirawan TNI AL, pemerhati kebangsaan dan masalah sosial budaya
Sumber: RMOL