Kumbanews.com – Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan penyederhanaan kurikulum pendidikan di Indonesia menuai kontroversial. Sebab, terdapat rencana penghapusan mata pelajaran sejarah bagi pelajar di SMK dan hanya sebagai mata pelajaran pilihan, bagi pelajar di SMA. Salah satu protes keras datang dari Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Koswara.
“Ada satu jenis tindakan aborsi yang sangat berbahaya dan sangat berisiko tinggi hadirnya cacat mental kebangsaan. Cacat nasionalisme, nir kepahlawanan dan nir adab. Tiada lain adalah aborsi sejarah suatu bangsa dalam sebuah kurikulum di dunia pendidikan,” keluh Dudung dalam seperti dilansir Republika.co.id, Ahad (20/9).
Sebagai guru sejarah dan pengurus organisasi profesi guru di tingkat nasional, Dudung merasa geli. Menurutnya, tanda-tanda aborsi itu sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Nadiem Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Bahkan, mata pelajaran sejarah tidak diolimpiadekan atau tidak ada Olimpiade Guru Nasional (OGN) sejarah dan UN pun tidak ada mata pelajaran sejarah.
“Saya pernah berdebat dengan Pak Anas M Adam yang saat itu menjabat di Kemdikbud. Saya protes, mengapa dana negara mengalir milyaran rupiah untuk OSN dan OGN nir pelajaran sejarah? Mengapa mata pelajaran sejarah. Guru sejarah dan siswa IPS peminat sejarah tidak difasilitasi dalam OSN Sejarah kata Dudung.
Sebelumnya, Dudung juga mengaku mendapatkan pengaduan tentang mata pelajaran sejarah di SMK yang mulai diaborsi. Ia menegaskan tanpa sejarah, suatu bangsa akan bermasalah. Bahkan tanpa mengisahkan sebuah sejarah masa lalu, para nabi sekali pun akan sulit diterima jamaah atau suatu kaum.
“Bukankah ajaran semua agama di muka bumi ini berkisah tentang sejarah perilaku para nabi? Ajaran sejarah kebangsaan dalam mata pelajaran sejarah adalah wajib,” tegasnya.
Lanjut Dudung, tanda-tanda ‘mengaborsi’ mata pelajaran sejarah nampak terlihat. Jika pengaborsian mata pelajaran sejarah karena ketidaktahuan dan wawasan yang kurang, tidak terlalu masalah. Namun bila ada indikasi niatan dan modusan maka akan berdampak pada dua masalah besar. Pertama nilai-nilai kesejarahan terkait keteladanan kepahlawanan dan nasionalisme akan melemah. Kedua kelak akan lahir generasi ‘tak tahu diri’.
“Menghilangkan dan mengaborsi mata pelajar sejarah dalam ‘modus’ menjadi mata pelajaran pilihan bukan mata peajaran wajib, sama dengan ‘kejahatan’ kebudayaan. Jas Merah kata Bung Karno, apa Bung Karno pun akan dianggap tidak pernah ada?” tutup Dudung. (*)