*Oleh: Novita Sari Yahya
Sidang Umum PBB ke-80 menjadi momen penting yang menyita perhatian dunia ketika Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan pidato penuh semangat. Ia menyinggung sejarah panjang penderitaan bangsa Indonesia di bawah penjajahan, dengan kata-kata yang menggugah kesadaran:
“Negara saya mengenal betul penderitaan itu. Selama berabad-abad, rakyat Indonesia hidup di bawah penjajahan, penindasan, dan perbudakan. Kami diperlakukan lebih hina daripada anjing di tanah air kami sendiri.”
Prabowo melanjutkan:
“Kami, rakyat Indonesia, memahami makna dari penolakan keadilan, bagaimana rasanya hidup dalam sistem apartheid, dalam kemiskinan, dan tanpa kesempatan setara.”
Kata-kata lugas ini bagi saya bukan sekadar diplomasi di forum internasional, melainkan sebuah seruan moral. Dari sanalah lahir dorongan untuk menulis puisi berjudul “Anjing-Anjing Imperialisme”, sebuah karya yang menyoroti bayang-bayang kolonialisme dan kerakusan kekuasaan.
Sebelumnya, puisi ini kerap ditolak media. Namun momentum pidato Prabowo membuka ruang agar karya tersebut dapat dibaca dan direnungkan lebih luas. Simbol “anjing” yang dipakai dalam puisi dimaknai sebagai kiasan: representasi kekuatan yang rela tunduk pada majikan, mengabaikan nilai kemanusiaan.
Anjing-Anjing Imperialisme
Anjing imperialisme yang menggonggong ketika majikannya terganggu,
Menunjukkan taringnya kala majikan terancam.
Anjing imperialisme yang memperebutkan seonggok tulang yang dilemparkan,
Berebut tulang, saling bercakaran.
Manusia kurus berdiri di pojok, menyaksikan anjing berebut tulang.
Perutnya keroncongan, dua hari tak makan.
Namun aku manusia, bukan anjing.
Kalau ikut berebut, statusku turun menjadi anjing herder
Walau aku mati kelaparan.
Harga diri dan kehormatan membedakan manusia dari sekawanan anjing lapar.
Manusia berakal, mampu membedakan benar dan salah.
Binatang tanpa akal, itulah sebabnya ia buas.
Demi perut, engkau rela menjadi anjing imperialisme.
Ketika manusia memelihara kebinatangan dalam dirinya,
Apa bedanya dengan binatang?
Kalau hanya urusan perut yang dipikirkan,
Bukan kehormatan dan harga diri,
Maka hilanglah kemanusiaan.
Buanglah sifat kebinatanganmu,
Karena itu syarat menjadi manusia.
Ketamakan adalah iblis dalam rupa manusia. Lenyapkanlah kebinatanganmu, Agar manusia menjadi sempurna.
Pidato Prabowo dan puisi ini sama-sama menegaskan: perjuangan melawan ketidakadilan bukan hanya urusan sejarah, melainkan tugas berkelanjutan untuk menjaga martabat kemanusiaan. Kata-kata berani di panggung dunia telah memicu refleksi, sekaligus melahirkan karya sastra sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme dan kerakusan.
Bogor, 25 Februari 2025
Novita Sari Yahya, ibu dari dua putra dan satu putri, penulis dan peneliti. Ekspo
se kegiatan: @novita.kebangsaan