Kumbanews.com – Pada dasarnya, sebuah institusi kepolisian berdiri bukan hanya di atas aturan dan seragam, tetapi di atas kepercayaan publik. Dan kepercayaan itu tidak pernah tumbuh dalam ruang gelap, tidak pernah muncul dari sikap menutup diri, serta tidak akan pernah kuat jika komunikasi dengan masyarakat dianggap sebagai hal remeh yang bisa ditinggalkan begitu saja. Di sinilah persoalan mulai terasa mengkhawatirkan di Polres Pelabuhan Makassar, di bawah kepemimpinan AKBP Rise Sandiyantanti, Senin (24/11/2025).
Sudah tujuh bulan sejak dilantik pada 9 April 2025, namun publik bukannya mendapatkan figur Kapolres yang hadir, turun ke lapangan, mudah ditemui, dan terbuka terhadap siapa pun yang mencoba berkomunikasi. Yang terlihat justru sebaliknya. sebuah kesunyian yang panjang, sikap yang seolah menjauh, dan pola komunikasi yang seperti sengaja diputus dari hulunya. Media mencoba mengetuk pintu komunikasi, tetapi pintu itu tidak pernah benar-benar terbuka, bahkan tidak sedikitpun bergeser.
Pesan singkat tidak dibalas.
Panggilan telepon tidak diangkat.
Sapaan langsung tidak dihiraukan.
Semua ini membentuk gambaran yang sulit diterima, apalagi dari seorang pejabat publik yang digaji oleh negara dan bekerja untuk masyarakat. Di tengah tuntutan keterbukaan, justru Kapolres memilih untuk tidak hadir dalam ruang komunikasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab dasarnya sebagai pemimpin.
Seorang sumber internal yang memahami kultur kepolisian bahkan menyebut sikap ini sebagai sebuah kejanggalan, sebuah anomali yang tidak semestinya muncul dari pejabat setingkat Kapolres. Apalagi jika dihubungkan dengan citra religius AKBP Rise yang rutin beribadah di Masjid Pelabuhan Makassar. Ibadah memang urusan pribadi, tetapi dampaknya selalu sosial, membuka pintu silaturahmi, melembutkan sikap, dan memperluas ruang pertemuan. Maka ketika seseorang terlihat tekun beribadah, namun pada saat yang sama memutus komunikasi dengan sesama, wajar jika publik mulai menimbang integritas antara teori dan praktik.
Dalam dunia kepolisian, komunikasi bukan aksesori. Ia adalah pondasi. Lewat komunikasi, aparat bisa menjelaskan, menenangkan, menjawab, meluruskan, dan sekaligus membuktikan bahwa mereka bekerja dengan cara yang benar. Ketika komunikasi sengaja dibiarkan mati, maka ruang bagi kesalahpahaman akan tumbuh subur. Lebih jauh lagi, ruang kepercayaan pun perlahan ikut rapuh.
Kondisi inilah yang kini terlihat di Polres Pelabuhan Makassar. Sikap tertutup yang dipertahankan Kapolres tidak hanya menciptakan jarak antara media dan institusi, tetapi juga membuka celah bagi publik untuk meragukan arah kepemimpinannya. Kritik dari berbagai pihak pun bermunculan, karena publik melihat pola yang sama. Kapolres menjauh, komunikasi terputus, dan dialog seolah bukan bagian dari tugasnya.
Humas Polres Pelabuhan Makassar, Adil, ketika ditanya, hanya memberikan jawaban normatif, rencana silaturahmi akan diberitahu “Insya Allah” jika waktunya sudah ada”, ucapnya singkat.
Namun dalam praktiknya, tidak ada perkembangan, tidak ada kepastian, dan tidak ada tanda-tanda bahwa rencana itu benar-benar ada. Kalimat normatif yang diulang-ulang tanpa tindakan hanya mempertebal kesan bahwa komunikasi memang sengaja dibiarkan kosong.
Pengamat sosial, Ustadz Ansar, ikut menyoroti fenomena ini. Ia menegaskan bahwa “Ilmu tanpa adab itu ibarat wadah yang retak, tidak mampu menampung apa pun.” Menurutnya, seorang pemimpin, apalagi Kapolres tidak cukup hanya dengan kecakapan teknis. Harus ada kesantunan, keterbukaan, dan kepekaan sosial.
Ansar bahkan mengingatkan bahwa Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat manusia untuk saling mengenal (ta’aruf) dalam Surah Al-Hujurat.
“Jika seorang pejabat rutin ke masjid tetapi menutup pintu komunikasi dengan masyarakat, itu bukan hanya keliru secara sosial, tapi juga bertentangan dengan nilai-nilai agama yang ia tunjukkan,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa jabatan publik bukan ruang untuk menyendiri, tetapi ruang untuk hadir, mendengar, dan melayani.
Kumbanews sebelumnya telah menyoroti ketertutupan yang berlarut-larut ini. Upaya media untuk sekadar menyampaikan pertanyaan saja tidak pernah mendapatkan tanggapan. Dan ketika media adalah pilar keempat demokrasi, tidak diberi ruang, maka dampaknya bukan sempit. Ia melebar sampai ke ranah pelayanan publik.
Sebab media bukan sekadar peliput. Media adalah partner strategis bagi kepolisian. Partner dalam menyampaikan informasi. Partner dalam menjaga stabilitas. Partner dalam membangun citra positif dan partner dalam menghubungkan polisi dengan masyarakat yang mereka layani.
Ketika partner ini tidak dihargai, maka bukan hanya hubungan kerja yang terganggu, tetapi juga kemampuan kepolisian untuk menjaga kepercayaan publik. Karena media adalah jembatan. Jika jembatan itu diputus, publik akan melihat institusi yang menyendiri, merasa paling benar, dan enggan diawasi.
Pertanyaannya bukan lagi sekadar mengapa Kapolres tidak merespons media, tetapi sejauh apa ia memahami fungsi publik dari jabatannya. Ketika komunikasi ditutup rapat, publik punya hak untuk khawatir bahwa pelayanan ikut mengetat. Jika dialog kecil saja tak bisa dilakukan, bagaimana dengan tanggung jawab yang lebih besar. Jika panggilan media diabaikan, bagaimana nasib laporan warga yang membutuhkan tindakan cepat.
Seiring waktu, kritik semakin keras, tetapi Kapolres seolah tetap memilih jalan sunyi. Tidak ada penjelasan yang muncul. Tidak ada pernyataan resmi. Tidak tampak inisiatif untuk memperbaiki hubungan komunikasi. Diam yang berkepanjangan ini bukan lagi bentuk kehati-hatian, melainkan sebuah sikap yang menimbulkan kecurigaan. Sunyi seperti ini terlalu nyaring untuk tidak terdengar oleh publik.
Dan yang paling dikhawatirkan adalah, ketika pintu komunikasi ditutup rapat, pintu pelayanan berpotensi ikut tertutup.
Polri mengusung nilai Presisi: transparan, responsif, dan berkeadilan. Namun apa arti slogan jika pada level Kapolres, nilai pertama saja tidak dijalankan. Transparansi bukan sekadar kata, ia adalah sikap, keberanian, dan kesediaan tampil di hadapan publik meski kritik datang dari segala arah.
Sorotan ini bukan serangan personal. Ini adalah pengingat tegas bahwa jabatan publik tidak bisa dijalankan dari balik pintu yang terkunci. Pemimpin yang terlalu lama tenggelam dalam diam akan kehilangan kepercayaan lebih cepat daripada yang ia bayangkan. Karena publik tidak takut pada pejabat yang sibuk. Publik justru khawatir pada pejabat yang menghilang dalam kesunyian.
Dan hari ini, kekhawatiran itu semakin terasa nyata di Pelabuhan Makassar.
Redaksi Kumbanews.com





