Kumbanews.com – Filantrop sekaligus founder Microsoft, Bill Gates, sering mendapat perhatian publik berkat prediksi-prediksinya. Salah satunya adalah ‘ramalan’ yang dia buat pada 2015 lalu, di mana dia memprediksi kalau pandemi bakal menjadi masalah bagi manusia di masa depan ketimbang perang.
Berkat prediksinya itu, pria 65 tahun ini sering diundang wawancara untuk mengemukakan pandangannya. Terbaru, dalam sebuah wawancara dengan Derek Muller dari channel Veritasium, Gates mengungkap dua bencana besar yang bakal menjadi masalah utama masyarakat global di masa depan.
“Salah satunya adalah perubahan iklim. Setiap tahun itu akan menjadi jumlah kematian yang lebih besar daripada yang kita alami dalam pandemi ini,” kata Gates ketika ditanya oleh Muller soal masalah besar macam apa yang bakal dihadapi manusia di masa depan.
Ini bukan kali pertama Gates mengatakan kalau perubahan iklim bakal menghasilkan dampak yang lebih buruk daripada pandemi. Pada Agustus 2020, misalnya, ia sempat mengungkap hal serupa dalam blog pribadinya, Gates Notes.
Bagi para ahli, perubahan iklim punya dampak destruktif yang sama seriusnya seperti pandemi. Menurut Utusan Khusus PBB untuk Aksi Iklim dan Keuangan Mark Carney, misalnya, kerusakan lingkungan dan ekosistem berpotensi menyebabkan lebih banyak kematian ketimbang pandemi corona.
“Salah satu masalah terbesar adalah Anda tidak dapat mengisolasi diri dari iklim. Itu bukan pilihan. Kita tidak bisa mundur dan menunggu perubahan iklim, itu hanya akan menjadi lebih buruk,” katanya, dikutip dari BBC.
“Jika Anda melihat perubahan iklim dari perspektif kematian manusia, itu akan setara dengan krisis virus corona setiap tahun mulai pertengahan abad ini, dan setiap tahun, bukan hanya peristiwa satu kali. Jadi ini adalah masalah yang perlu untuk ditangani sekarang.”
Selain itu, menurut sekolah kesehatan di Universitas Harvard, perubahan iklim juga bisa meningkatkan risiko pandemi. Deforestasi, yang sebagian besar terjadi untuk tujuan pertanian, adalah penyebab terbesar hilangnya habitat di seluruh dunia.
Hilangnya habitat pada gilirannya akan memaksa hewan untuk bermigrasi dan berpotensi menghubungi hewan atau manusia lain dan berbagi penyakit. Peternakan besar juga bisa menjadi sumber penyebaran infeksi dari hewan ke manusia.
“Kami tidak memiliki bukti langsung bahwa perubahan iklim memengaruhi penyebaran COVID-19, tetapi kami tahu bahwa perubahan iklim mengubah cara kita berhubungan dengan spesies lain di Bumi dan itu penting bagi kesehatan kita dan risiko infeksi,” jelas Director of Harvard Chan C-CHANGE, Aaron Bernstein, dalam blog universitas.
“Saat planet memanas, hewan-hewan besar dan kecil, di darat dan di laut, menuju ke kutub untuk keluar dari panas. Itu berarti hewan melakukan kontak dengan hewan lain yang biasanya tidak mereka lakukan, dan itu menciptakan peluang bagi patogen untuk masuk ke inang baru.”
Senada dengan Bernsetin, epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, juga melihat bahwa gagalnya manusia untuk berdamai dengan alam menempatkan kita pada era pandemi.
“Kita memasuki era pandemi dengan perilaku manusia yang mengabaikan keseimbangan alam, kesehatan manusianya sendiri, dan hewan,” kata Dicky kepada kumparanSAINS. “Dengan pembabatan hutan, dengan perilaku tidak harmonis (dengan alam) ini membuat kita semakin rawan (pandemi).”
Bio-terorisme
Selain potensi munculnya penyakit baru secara alamiah akibat kerusakan lingkungan, Gates juga mengungkap satu masalah lain yang berhubungan dengan pandemi: bio-terorisme.
“Lalu, berhubungan dengan pandemi, sesuatu yang tidak suka dibicarakan oleh orang-orang, bio-terorisme. Seseorang yang ingin menyebabkan kerusakan dapat merekayasa virus dan itu berarti biayanya, kemungkinan terkena hal ini lebih besar daripada epidemi yang disebabkan secara alami seperti yang terjadi saat ini,” kata Bill Gates.
Sama seperti perubahan iklim, bio-terorisme sudah sering dibicarakan Gates dalam sejumlah kesempatan. Para ahli juga telah memperingatkan bahwa bioterorisme bisa menjadi senjata yang efisien dan mematikan di tangan teroris, yang berpotensi menggunakan sejumlah kecil bakteri atau virus untuk membunuh banyak orang di wilayah yang luas.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa potensi ancaman bio-terorisme sejauh ini belum ada yang memberikan dampak serius. Menurut Sucharit Bhakdi, kepala Institut Mikrobiologi Medis di Universitas Mainz, senjata biologis punya kriteria tertentu untuk menjadi ancaman manusia.
“Senjata biologis harus memiliki banyak daya tembus, baik secara psikologis maupun ekonomi dan militer,” katanya kepada Deutsche-Welle pada 2005 lalu. “Dan ternyata tidak.”
Bhakdi menambahkan, sering kali ancaman bio-terorisme dilebih-lebihkan. Contohnya adalah kasus serangan yang terjadi di AS pada September 2001 lalu, di mana surat-surat yang dibubuhi antraks dikirim melalui pos oleh teroris.
Kala itu, lima orang yang menerima pos meninggal karena antraks pernapasan, sementara 12 atau 13 yang terinfeksi berhasil selamat. Meskipun 20 hingga 30 orang tambahan menderita infeksi kulit, semuanya tidak berakibat fatal. Sebanyak 50 hingga 100 orang lainnya terjangkit virus antraks, tetapi tidak jatuh sakit.
Senada dengan Bhakdi, sebuah studi dari Jerman pada 2005 juga menganggap bahwa bio-terorisme berpotensi menjadi masalah masa depan. Namun, kemungkinannya lebih rendah daripada penyakit yang muncul secara alamiah.
“Serangan dengan senjata biologis memang merupakan ancaman nyata dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab perlu mewaspadai hal ini. Namun, kemungkinan sebenarnya dari serangan tersebut saat ini tampaknya rendah dibandingkan dengan agen yang muncul secara alami,” kata para peneliti dalam studi yang diterbitkan di jurnal Med Microbiol Immunol.
“Implementasi yang efektif dari strategi biosecurity nasional akan membutuhkan berbagai upaya independen di seluruh organisasi federal dan kesehatan masyarakat serta penelitian bioscience.”
Bagaimanapun, menciptakan senjata biologis yang mampu secara cepat menginfeksi dan membunuh manusia adalah hal yang sulit, menurut ilmuwan. Dalam kondisi alaminya, sebuah penyakit sulit untuk dijadikan senjata.
“Membuat antraks tingkat senjata menuntut pengetahuan dari spesialis dan peralatan khusus, yang sebagian besar hanya tersedia di laboratorium Amerika,” kata Bhakdi.
Namun, organisasi kepolisian internasional Interpol memiliki pendapat berbeda.
“Sejak serangan antraks di AS, kami tahu bahwa bahkan sejumlah kecil materi biologis dapat memiliki efek global, bahkan di luar area target,” kata Ronald Noble, yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Interpol, pada 2005 lalu.
Pembuatan senjata biologis dan strain virus sendiri telah dilarang oleh Bioweapon Convention pada 1972. Melalui konvensi ini, lokasi strain patogen yang dapat digunakan dalam senjata diatur dengan ketat. (*)