Kumbanews.com – Wakil Presiden Jusuf Kalla berkomentar terkait penyerangan dan penusukan terhadap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto.
Kalla menyatakan ini merupakan kali pertama ada pihak yang berani menyerang pejabat negara dengan cara menikam.
“Tentu tidak disangka. Karena ini pertama kali ada orang yang mencederai pejabat dengan tikaman,” ujar Kalla usai membesuk Wiranto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, Kamis (10/10/2019), dalam Kompas.com.
Diberitakan sebelumnya, Wiranto ditikam pada bagian perut di dekat pintu gerbang Lapangan Alun-alun Menes, Desa Purwaraja, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Pelaku diketahui berjumlah dua orang atas inisial SA alias Abu Rara dan FA.
Menurut Jusuf Kalla, penyerangan terhadap pejabat negara bukan pertama kalinya terjadi.
Sebelumnya, Presiden Soekarno pernah menjadi target pembunuhan oleh seseorang saat sedang menunaikan salat Idul Adha tahun 1962.
Salat Idul Adha pada tanggal 14 Mei 1962 dilaksanakan di halaman Istana Merdeka, di Jakarta.
Pada kegiatan ini, tanpa diduga muncul upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang dilakukan oleh seseorang yang juga berada di barisan salat.
Pelaku yang berada di barisan keempat menembakkan peluru tiga kali ke depan dengan menggunakan pistol.
Tembakan pelaku mengenai beberapa orang yaitu Soedarjat dan Soesilo, anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Soekarno dan Zaenul Arifin, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-RI).
Dilansir oleh Historia.id, (11/8/2019) dalam artikel Hendri F. Isnaeni, ‘Upaya Pembunuhan Sukarno di Hari Raya Kurban’, pelaku sengaja mengincar Presiden Soekarno yang sedang hadir dalam kegiatan tersebut.
Beruntung, Presiden Soekano selamat dalam peristiwa ini.
Kronologi kejadian, pelaku serta korban menjadi catatan kelam sejarah Indonesia dalam prosesi khidmat salat Idul Adha.
Peristiwa upaya pembunuhan Presiden Soekarno terjadi di halaman Istana Merdeka pada tanggal 14 Mei 1962.
Para jamaah yang hadir adalah orang-orang yang mendapat kartu undangan untuk bisa masuk di Istana Merdeka melaksanakan salat Idul Adha.
Setelah khotbah, Presiden Soekarno direncanakan memberikan sambutan.
Namun, agenda itu dibatalkan karena peristiwa penembakan tersebut.
Rangkaian kegiatan salat Idul Adha dimulai pada pagi hari di Istana Merdeka Jakarta tanggal 14 Mei 1962.
Para pejabat baik dari instansi pemerintahan dan militer bersama-sama hadir di kompleks Istana Negara Jakarta.
Imam salat Idul Adha dipimpin oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Idham Chalid.
Sementara khatibnya adalah A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Wakil Menteri Pertama Bidang Pertahanan dan Keamanan/KSAD.
Selain itu, hadir juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), Zainul Arifin.
Zainul Arifin menempati baris paling depan, di sisi kanan Jenderal Nasution yang bersebelahan dengan Presiden Soekarno.
Di samping kiri Zainul Arifin ada Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri.
Salat pada rakaat pertama berjalan khidmat.
Setelah rukuk pada rakaat kedua, tiba-tiba terdengar pekik suara takbir dari arah belakang saf pertama.
Suara takbir tersebut berada di barisan ke empat yang berjarak kurang dari 6 meter.
Kemudian disusul dengan beberapa kali suara letusan pistol yang memecah kekhidmatan sekaligus menimbulkan kepanikan.
Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Sukarno dan wakilnya Sudiyo, bergegas melindungi Soekarno.
Sedangkan Soedarjat, anggota DKP yang berada belakang Soekarno, membalikkan badan dengan cepat mencabut pistol.
Namun Soedarjat lebih dulu tertembak, jatuh berlumuran darah di belakang Soekarno.
Soesilo yang juga seorang anggota DKP memutar badan ke belakang terkena peluru di pelipis kepala.
Satu peluru lagi mengenai bahu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), K.H. Zainul Arifin.
Zainul Arifin terkulai di atas sajadah dengan bahu berlumuran darah.
Peluru yang ditembakkan oleh seseorang mengenai bahu kirinya.
Setelah menembak dua kali, sambil membungkuk, pelaku kemudian mencoba mendekati Soekarno.
Seseorang yang bernama Sribusono kemudian menendang kaki pelaku, sehingga membuat jatuh.
Dibantu oleh Musawir, Sribusono menindih penembak.
Selanjutnya, pistol dirampas dan pelaku diringkus.
Pelaku yang diringkus dalam keadaan pingsan dan babak belur.
Tubuh si pelaku diletakkan di depan Masjid Istana Baiturrahim.
Akibat tembakan tersebut, salat id terhenti.
Saf dan jemaah kocar-kacir.
Dilaporkan ada yang menjerit ketakutan, mundur ke belakang dan mencari perlindungan, serta ada yang tiarap.
Setelah sebagian besar jemaah meninggalkan istana, anggota kepolisian melakukan penyisiran dan menemukan sarung pistol dan sepucuk pistol FN 45 di bawah tikar alas salat.
Pistol tersebut adalah senjata yang sama dan sejenis yang dipakai pelaku penembakan.
Ketiga korban, Soedarjat, Soesilo dan Zaenal Arifin kemudian dibawa ke rumah sakit.
Keadaan mereka terselamatkan walau mempunyai efek pasca kejadian.
Presiden Soekarno kemudian memberi penghargaan pada ketiga tokoh ini.
Pelaku penembakan adalah seorang anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sekaligus anak buah Kartosoewirjo yang diperkirakan berusia sekitar 35 tahun memakai kemeja putih dengan jas warna coklat muda dan berkain sarung berwarna coklat agak tua.
Selain pelaku penembakan, ditangkap juga seorang laki-laki lain yang menyimpan pistol di bawah tikar yang digunakan untuk alas salat Idul Adha di areal Istana Negara.
Oknum penembak berjumlah tiga orang.
Para pelaku berhasil masuk ke dalam Istana Merdeka Jakarta dengan memegang kartu undangan masuk, yang mereka peroleh dari salah satu organisasi massa.
Ketiga pelaku itu adalah:
Sanusi alias Fatah alias Soleh alias Uci Sanusi Fikrat alias Sanusi Ufit
Kamil alias Harun bin Karta
Jaya Permana bin Embut alias Hidayat bin Mustafa.
Sasaran utama penembakan sebenarnya adalah Presiden Soekarno, namun meleset dan menyerempet bahu Zainul Arifin serta terkena beberapa orang lainnya.
Mahkamah Angkatan Darat dalam sidangnya kemudian menjatuhkan vonis mati kepada Sanusi dan Kamil pada 16 Juli 1962.
Selain itu, Jaya Permana juga divonis mati pada 7 Agustus 1962.
Ketiga pelaku ini merupakan suruhan dari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemimpin DI/TII.
Beberapa bulan setelah peristiwa tersebut, pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosoewirjo berhasil ditangkap.
Selanjutnya dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu pada tanggaal 5 September 1962.
Peristiwa berdarah di Hari Raya Idul Adha tahun 1962 ini memakan tiga korban.
Korban sejatinya bukan target dari si pelaku karena yang dituju justru Presiden Soekarno.
Ketiga orang yang menjadi korban penembakan saat salat Idul Adha tahun 1962 adalah:
– Soedarjat, anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Soekarno.
– Soesilo, anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Soekarno.
– Zaenul Arifin, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong (DPR-GR).
Setelah penembakan berlangsung dan pelaku berhasil diringkus, ketiga korban ini kemudian dibawa ke rumah sakit.
Nyawa ketiga korban ini terselematkan, namun muncul efek kesehatan pasca kejadian.
Seperti yang dialami Zaenul Arifin yang kerap keluar masuk rumah sakit pasca kejadian.
Presiden Soekarno kemudian memberi penghargaan pada ketiga tokoh ini karena peristiwa ini. [tw]