Kumbanews.com – Video tentang kisah seorang pendaki Gunung Lawu yang tersesat dan ditolong dengan cara ‘dituntun’ oleh seekor burung Jalak, viral di media sosial. Peneliti burung melihat terdapat beberapa faktor yang memicu fenomena perilaku unik burung Jalak.
“Kalau saya lihat bentuknya dia lebih ke arah Jalak. Kalau yang di Lawu ini nama latinnya Turdus Poliocephalus Stresemanii. Tapi Jalak sama Anis kan mirip ya, jadi orang juga bilang Anis Gunung, ada yang bilang Jalak Gading,” ujar peneliti burung Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Ani Mardiastuti, Minggu (21/2/2021).
Ani mengatakan, burung jenis ini banyak terdapat di berbagai wilayah. Menurutnya, burung Jalak ini termasuk burung dengan spesialisasi ketinggian di atas 1.500 mdpl.
“Karena gunung satu dengan yang lain berbeda, akhirnya dia menjadi sub-spesies yang berbeda pula. Yang di Lawu beda dengan yang berada bagian lain. Karena pengaruh masing-masing lokasi, perbedaan suhu ataupun paparan sinar matahari,” jelasnya.
Ani mengatakan, perilaku Jalak Lawu yang seolah menuntun pendaki tersesat menuju jalur pendakian hingga ke puncak gunung, bisa terjadi beberapa faktor. Faktor pertama, karakteristik burung ini memang menyukai tempat terbuka.
“Burung Turdus ini memang penyuka tempat terbuka. Dia kan pemakan biji-bijian di tanah. Dia nggak bisa di tempat yang tertutup,” jelasnya.
Ani menduga, wilayah jelajah burung tersebut memang berada di sekitar jalur pendakian. Berdasarkan penelitian, burung Jalak ini lebih banyak ditemukan di sekitar jalur dibandingkan di lokasi lain yang vegetasinya lebih tertutup.
“Ada penelitian mahasiswa saya di salah satu gunung. Dia membuktikan bahwa ternyata burung itu paling banyak di kiri kanan jalur pendakian. Yang (vegetasinya) tertutup malahan lebih sedikit,” paparnya.
Faktor kedua, jalur pendakian memang menjadi lokasi favorit burung ini mendapatkan makanan. Termasuk kemungkinan remah-remahan makanan yang dijatuhkan para pendaki yang lewat maupun beristirahat di sekitar jalur pendakian.
“Mungkin juga dia ada remah-remah sisa makanan orang yang mendaki, mungkin saja ada kaitannya. Burung-burung ini kan lama-lama belajar juga daerah itu banyak makanan,” imbuhnya.
Faktor ketiga, adanya mitos burung Jalak tersebut menjadi ‘penuntun’ bagi para pendaki, justru jadi proteksi bagi para burung ini. Mitos tersebut membuat para pendaki tidak berani mengganggu atau menangkap burung-burung tersebut.
“Mungkin gara-gara ada mitos juga kan, kemudian nggak pernah ada yang ganggu. Jadi dia tidak melihat manusia sebagai ancaman, makanya dia kelihatan jadi lulut (jinak),” terangnya.
Mitos mengatakan burung ini selalu membimbing para pendaki, menurut Ani, hal ini dikarenakan habitat burung Jalak ini memang di ketinggian.
“Kalau ada yang bilang membimbing (pendaki), rasanya membimbing itu selalu ke atas ya? Tapi kan nggak pernah ke bawah, karena itu bukan wilayah jelajah dia,” kata Ani.
Terkait perilaku burung Jalak yang hanya melompat-lompat dan tidak terbang, Ani menyebut hal tersebut umum terjadi. Mayoritas makanan burung yang berada di bawah membuat burung ini seakan enggan terbang.
“Kalau lompat-lompat itu umum, banyak burung yang gitu, termasuk beberapa jenis Turdus ini biasa. Dugaan saya karena makannya di bawah (tanah) sehingga tidak terbang-terbang. Pendaki yang mengikuti kan juga pelan-pelan, misalnya dikagetkan ya pasti terbang juga,” terangnya.
Fenomena burung Jalak yang seakan menuntun pendaki menuruti jalur pendakian, bisa terjadi karena jalur itu memang jalur keseharian si burung. Ditambah budaya para pendaki yang tidak mengganggu burung, membuat fenomena dituntun tersebut dimungkinkan terjadi.
“Karena memang itu jalur hari-harinya dia, karena lebih mudah dia mendapatkan makanan dan (vegetasinya) nggak terlalu tertutup. Jadi misalnya nggak ada orang ya lewat ya tetap nature-nya dia di situ,” urainya.
“Jadi semua hal tersebut menjadi faktor pendukung. Memang habitatnya di jalur pendakian, makanan dia juga di situ, ditambah faktor para pendaki yang tidak mengganggu burung-burung ini,” imbuhnya.
Ani tidak mempermasalahkan mitos yang selama ini dipercaya oleh masyarakat terutama di kawasan Lawu. Menurutnya hal tersebut justru bermanfaat bagi kelestarian satwa tersebut.
“Kalaupun dikaitkan dengan mitos silakan. Karena biasanya mitosnya memang tidak boleh menangkap burungnya kan. Bagi saya sih pandangan kelestarian saja, apapun alasannya jangan nangkapin burunglah, karena habitatnya kan memang di hutan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, video tentang seorang pendaki Gunung Lawu yang ditolong oleh seekor burung yang disebut jenis Jalak, viral di media sosial. Sempat tersesat, pendaki tersebut akhirnya dapat bertemu kembali dengan rombongannya setelah ‘dituntun’ oleh burung Jalak.
Video ini diunggah oleh akun TikTok @mocha_doank. Saat dimintai konfirmasi, pemilik akun TikTok @mocha_doank, Mohammad Soleh (37), membenarkan video tersebut diambil olehnya. Pengalaman tersebut didapatnya ketika mendaki Gunung Lawu pada Agustus 2020, namun baru sempat dibaginya melalui TikTok beberapa hari lalu.(dt)