Usai Mutasi Pejabat Polda Sulsel, Nasib Kasus Korupsi Mangkrak

  • Whatsapp

Kumbanews.com – Pejabat Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Sulsel resmi berganti.

Berdasarkan surat telegram kapolri bernomor ST/2854/X/KEP./2019, tertanggal 21 Oktober 2019, jabatan Dirreskrimsus Polda Sulsel yang sebelumnya dijabat oleh Kombes Pol Yudhiawan Wibisiono, kini akan dijalankan oleh perwira menengah (pamen) yang sebelumnya bertugas sebagai Analis Kebijakan Madya Bidang STIK Lemdiklat Polri, Kombes Pol Augustinus Berlianto Pangaribuan.

Bacaan Lainnya

Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani membenarkan adanya beberapa Pejabat Umum (PJU) di Polda Sulsel dan Kapolres yang mengalami mutasi.

Kata dia, ada yang dimutasi keluar dari Polda Sulsel, namun ada juga yang tetap di Sulsel.

“Mutasi hal yang biasa dalam rangka penyegaran organisasi,” singkat Dicky yang juga diketahui masuk dalam salah satu daftar PJU di Polda Sulsel yang terjaring mutasi tahun ini, Jumat (25/10/2019).

Menanggapi adanya pergantian pejabat Dirreskrimsus Polda Sulsel tersebut, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun hanya berharap agar seluruh kasus korupsi yang mangkrak dapat dituntaskan.

“Tentu diharapkan kepada Dirreskrimsus yang baru punya komitmen untuk menuntaskan penanganan kasus-kasus korupsi yang mangkrak,” kata Kadir via telepon, Jumat (25/10/2019).

Di antaranya, sebut Kadir, kasus dugaan suap proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare dan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja yang terhitung ditangani sejak tahun 2012, namun hingga saat ini belum juga rampung penyidikannya.

“Dari data kami, ada banyak kasus korupsi mangkrak di Polda Sulsel. Diantaranya kasus Bandara Toraja dan dugaan suap proyek DAK Kota Pare-Pare,” terang Kadir.

Ia berharap ditangan Augustinus Berlianto Pangaribuan nantinya, seluruh kasus korupsi yang mangkrak peninggalan Yudhiawan bisa segera rampung dan segera masuk ke Pengadilan Tipikor.

“Komitmen itu yang kami harapkan dari pejabat Dirreskrimsus Polda Sulsel yang baru ini. Bagaimana semua kasus korupsi yang mangkrak bisa tuntas dan segera masuk persidangan,” ujar Kadir.

Perkembangan Terakhir Kasus Bandara Mangkendek Toraja

Perkembangan terakhir, Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Krimsus) Polda Sulsel di era kepemimpinan Yudhiawan Wibisono sebagai Dirreskrumsus, diam-diam kembali menjerat para pelaku lama dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja.

“Menurut info penyidik tersangka masih yang dulu dan akan digelarkan dalam waktu dekat. Tergantung penyidik saja,” singkat Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono via pesan singkat, Minggu 22 September 2019.

Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun berharap penyidik tidak mengulur-ulur agenda penetapan tersangka dalam kasus yang telah menelan kerugian negara cukup besar tersebut.

Tak hanya itu, ia juga berharap penyidik punya kemauan besar dalam mengungkap keterlibatan semua pihak dalam kegiatan yang jelas-jelas telah merugikan negara itu.

“Kasus Bandara Mangkendek ini merupakan salah satu kasus korupsi yang sangat parah penanganannya. Bayangkan saja para tersangka sudah kedua kalinya bebas demi hukum lantaran berkasnya tak kunjung rampung (P21). Kasusnya pun ditangani sejak tahun 2012,” terang Kadir.

Anehnya lagi, beber Kadir, meski kasus Bandara Mangkendek tersebut telah melalui proses supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun kasusnya tak juga berhasil sampai ke Pengadilan Tipikor.

“Semoga kali ini berhasil sampai ke Persidangan. Kami harap Kepolisian maupun Kejaksaan memiliki visi-misi yang sama dalam pemberantasan korupsi sehingga berkas tersangka tak lagi bolak-balik nantinya,” tutur Kadir.

Penyidikan Kasus Bandara Toraja Sempat Mandek

Usai dibuka kembali sejak bulan April 2019 oleh Subdit Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, penyidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja sempat berjalan mandek.

Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani mengatakan penyidikan berjalan lambat dikarenakan penyidik masih menunggu kesesuaian pendapat antara pihak Kejaksaan dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam perhitungan kerugian negara.

“Ada perbedaan pendapat antara Jaksa dengan BPKP. Jadi agak lama karena mereka belum ada kesepakatan berapa kerugian negara yang sebenarnya,” kata Dicky, Selasa 18 Juni 2019.

Dalam proses penyidikan lanjutan penyidik telah memeriksa sejumlah saksi yang kini sudah berjumlah delapan orang. Mereka masing-masing mantan Bupati Tana Toraja, Theofelus Allorerung, mantan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten TanaToraja yang juga bertindak selaku ketua panitia pengadaan tanah, Enos Karoma, mantan Kepala Bappeda Kabupaten Tana Toraja selaku anggota panitia pengadaan tanah, Yunus Sirante dan mantan Camat Mangkendek selaku anggota panitia pengadaan tanah, Ruben Rombe Randa.

Kemudian, saksi lainnya yakni mantan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja yang juga bertindak selaku Pengguna Anggaran (PA), Meyer Dengen dan mantan Bendahara Pengeluaran pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja, Aspa Astri Rumpa.

Serta turut juga Ketua DPRD Kabupaten Tana Toraja yang saat itu bertindak sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Welem Sambolangi dan mantan Ketua Komisi 3 DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Yohannes Lintin Paembongan.

“Dari delapan saksi tersebut, enam orang diantaranya telah diambil keterangan tambahan,” jelas Dicky.

Perjalanan Panjang Kasus Bandara Toraja.

Diketahui penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Toraja dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya.

Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy dan Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang.

Selanjutnya ada juga mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla.

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.

Dari hasil penyidikan kala itu, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp 38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum disepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.

Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 Miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 M lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Propinsi Sulsel. Kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan tersebut dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.

Perjalanan Kasus Dugaan Suap Proyek DAK Rp 40 M di Kota Pare-Pare

Sementara kasus dugaan Suap Proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare, terakhir dikabarkan sempat tarik ulur. Meski pada akhirnya penanganannya resmi diambil alih oleh Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Krimsus) Polda Sulsel dari tangan penyidik Tipikor Polres Pare-Pare.

“Kasus ini sudah digelar di Bareskrim Mabes Polri dan hasilnya direkomendasikan agar penanganannya diambil alih oleh Polda Sulsel,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono di Markas Polda Sulsel, Selasa 10 September 2019.

Sementara penanganan kasus raibnya dana Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Pare-Pare, kata Yudhiawan, tetap ditangani oleh Unit Tipikor Polres Pare-Pare. Dimana kedua kasus tersebut masih berkaitan erat.

“Kasus raibnya dana Dinkes itu kan sudah penyidikan bahkan sudah ada penetapan tersangka. Itu tetap dilanjutkan oleh Polres Pare-Pare. Kasus dugaan suap proyek DAK resmi kita yang tangani,” jelas Yudhiawan.

Kasus Dugaan Suap Proyek DAK Rp 40 M Kota Pare-Pare Seret Nama Wali Kota

Lembaga binaan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) berharap penanganan kasus dugaan suap proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare dapat berjalan secara profesional.

“Kasus ini kan menarik dan dikabarkan mencatut nama Kepala daerah setempat. Sehingga kami harap ditangani secara maksimal dan profesional,” ucap Kadir Wokanubun, Direktur ACC Sulawesi.

ACC Sulawesi berharap aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut segera mengonfirmasi pernyataan mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pare-Pare, Muh Yamin yang menyatakan dirinya diperintahkan oleh Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe menyerahkan uang sebesar Rp 1,5 miliar kepada seorang pengusaha dari Papua, Hamzah sebagai bentuk pengembalian biaya pengurusan proyek DAK tambahan perubahan tahun anggaran 2016 sektor jalan sebesar Rp 40 miliar yang turun di Kota Pare-Pare.

“Ini juga harus segera dikonfirmasi kebenarannya. Polres Pare-Pare hingga saat ini terkesan tak berkutik padahal pernyataan tertulis Yamin bersama dua orang PNS lainnya soal itu beredar luas di media sosial (medsos),” ujar Kadir.

Ia juga mendesak aparat penegak hukum yang menangani kasus DAK Pare-Pare tersebut turut mengonfirmasi perihal pernyataan mantan Kepala Dinas Kesehatan Pare-Pare, Muh Yamin yang telah menyebutkan bahwa setiap selesai rapat dengan DPRD Kota Pare-Pare, ia dikabarkan kerap menyerahkan sejumlah uang.

“Sampai detik ini kan belum dikonfirmasi kebenarannya oleh penyidik Polres Pare-Pare. Inilah sehingga kami mendesak Polda Sulsel atau Kejati Sulsel bahkan ke KPK untuk segera ambill alih kasus ini,” jelas Kadir.

KPK Turut Turun Tangan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut mengatensi penanganan sejumlah kasus dugaan korupsi yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Diantaranya kasus dugaan suap proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare yang penanganannya dikabarkan simpang siur.

Koordinator Supervisi dan Pencegahan (Koorsupgah) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Aldiansyah Malik Nasution dikonfirmasi via telepon membenarkan hal tersebut.

“Semua kita atensi. Diantaranya kasus dugaan suap DAK Pare-Pare yang cukup mendapat perhatian besar publik belakangan ini,” kata Aldiansyah, Minggu 25 Agustus 2019.

Ia merencanakan mendekat ini akan segera berkoordinasi dengan Polda Sulsel terkait kelanjutan penanganan kasus-kasus korupsi yang dimaksud. Dengan demikian, kata dia, penanganan kasusnya akan menjadi perhatian Korsup KPK.

“Kami akan bergerak cepat untuk berkoordinasi dengan Polda Sulsel terkait kasus yang dimaksud,” ujar Aldiansyah.

Diketahui, penyelidikan kasus dugaan suap proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare oleh Polres Pare-Pare berawal setelah beredarnya sebuah surat pernyataan tiga orang PNS Pemkot Pare-Pare masing-masing dr Muhammad Yamin, Taufiqurrahman dan Syamsul Idham ke media sosial (medsos).

Dimana dalam surat pernyataan yang dibubuhi materai bernilai Rp 6000 itu, ketiga PNS Pemkot Pare-Pare yang dimaksud menyatakan telah bersama-sama mengantarkan dan menyerahkan dana sebesar Rp 1,5 miliar kepada pengusaha dari Papua, H. Hamzah di sebuah mal bernama Mall Ratu Indah Makassar sebagai pengembalian pengurusan proyek DAK 2016 sebesar Rp 40 miliar yang telah diterima oleh Kota Pare-Pare.

Ketiganya juga menyatakan melakukan hal yang dimaksud berdasarkan perintah Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe. (*)

Pos terkait