Ilustrasi/Net
Kumbanews.com – Sepanjang 2017-2024, Center for Banking Crisis (CBC) mencatat pendapatan bank, e-wallet dan operator seluler yang memfasilitasi transaksi judi online (Judol) yang seharusnya dikembalikan ke negara sekitar Rp 86,3 triliun.
Dana tersebut, nantinya dapat digunakan untuk program makan bergizi gratis pada tahun 2025.
Dikatakan anggota Komisi III, Aboe Bakar Al Habsy, berdasarkan UU 8/2010 tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengambil pendapatan judol di lembaga pembayaran,
“Lembaga itu seperti bank, aplikasi e-wallet atau layanan keuangan digital melalui operator seluler yang bisa menjadi media pembayaran judol,” kata Aboe Bakar kepada wartawan, Selasa 10 Desember 2024.
Kata dia, jika PPATK tidak bisa mengambil uang dari transaksi judol di bank, operator seluler, pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
“Isi Perppu adalah adalah menambah kewenangan PPATK, agar bisa mengambil dana transaksi judol di lembaga sistem pembayaran resmi,” terangnya.
Dengan pemberian kewenangan PPATK itu, lanjutnya, akan mempercepat pemberantasan judol yang sampai saat ini, belum mampu diatasi. Karena sistem pembayaran tidak bisa offline dengan alasan akan merugikan nasabah lain yang bukan pelaku judol.
“Adanya penarikan dana-dana itu akan memberikan efek jera kepada lembaga penyedia sistem pembayaran yang selama ini terkoneksi dengan merchant judol,” tuturnya.
Di mana, bank, e-wallet serta operator seluler yang memfasilitasi judol, baik sengaja maupun tidak disengaja diancam penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar, berdasarkan UU ITE Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (2).
Selain itu, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp25 juta bagi pelaku perjudian.
Selain itu, bank dapat kehilangan dana hasil judol yang dianggap sebagai hak pemerintah, dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita.
“Sanksi ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam judol tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko serius bagi reputasi dan operasional bank,” paparnya.
Saat ini, berdasarkan data intelijen dari Kemenko Politik dan Keamanan, jumlah masyarakat yang bermain judol sepanjang 2024, mencapai 8,8 juta orang. Sebanyak 80 persen di antaranya adalah masyarakat menengah ke bawah.
Pandangan senada disampaikan Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri. Judol sebagai fenomena global yang berkembang pesat di era digital, menjadi masalah yang mendesak diselesaikan pemerintah.
“Kemudahan sistem pembayaran judol melalui bank, a-wallet dan pulsa meluas karena lemahnya pengawasan perbankan oleh OJK dan pengawasan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia,” katanya.
Sumber: RMOL