Ratusan Aktivis Perempuan Tagih DPR untuk Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kumbanews.com – Ratusan aktivis pro perempuan yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil, menagih DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Hal itu diungkapkan dalam pawai akbar “Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)” di kawasan Sarinah hingga Taman Aspirasi, Jakarta Pusat. Pawai tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara

16 Hari Anti-Kekerasan Seksual.

Bacaan Lainnya

Tak hanya membawa spanduk, ratusan aktivis pro perempuan tersebut juga membunyikan peluit dan kentongan sebagai simbol darurat kekerasan seksual.

“Ini gerakan masyarakat sipil dari berbagai organisasi sipil, mulai buruh sampai pendamping korban (kekerasan seksual). Mereka melakukan aksi ini untuk mendorong pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PKS. RUU ini sudah masuk prolegnas prioritas sejak 2017, tapi sampai sekarang belum juga dibahas,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Azriana R. Manalu, dilansir IDN Times di Taman Aspirasi, Sabtu 8 Desember 2018.

1. Kekerasan seksual tak dikenali KUHP

Menurut Azriana, masyarakat sudah tidak sabar lagi (menunggu pengesahan RUU PKS) karena korban kekerasan seksual setiap hari terus berjatuhan. Sementara, pembahasan perlindungan hukum bagi korban dirasa lamban.

“Jelas mengkhawatirkan karena banyak sekali kasus kekerasan seksual yang dialami masyarakat Indonesia, terutama perempuan dan anak-anak. Kekerasan itu gak dikenali oleh KUHP sehingga tidak bisa diproses hukum secara mudah,” imbuh Azriana.

2. Butuh undang-undang khusus untuk melindungi korban kekerasan seksual

Selain itu, kata dia, proses pembuktian (kekerasan seksual) juga menyulitkan korban jika dilihat dari sisi hukum acara pidana. Oleh sebab itu, dibutuhkan undang-undang khusus untuk bisa melindungi masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak–secara komprehensif. “Jadi (dibutuhkan) RUU yang bisa mengatur dari hulu hingga hilir untuk memastikan kekerasan seksual bisa dihentikan,” ungkapnya.

3. RUU PKS adalah persoalan hukum

Menurut Azriana, Komnas Perempuan bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan pada tahun 2015 telah menyerahkan hasil kajian soal kekerasan seksual dalam bentuk naskah akademik pada DPR. Mereka menyusun naskah draf RUU PKS agar dijadikan inisiatif DPR untuk mengajukan RUU PKS.

Setelah diakomidir DPR, lanjutnya, sejumlah rapat dengar pendapat umum (RDPU) sudah dilakukan oleh Komisi VIII DPR. Namun, menurut Azriana, yang diundang dalam RDPU masih belum memberi ruang yang cukup bagi bagi para pendamping korban kekerasan seksual dan pemerhati isu kekerasan seksual tersebut.

“RDPU masih lebih banyak ruangnya diberikan kepada para ahli dari tokoh-tokoh agama, padahal persoalan RUU PKS ini tidak sebatas masalah agama. Ini persoalan hukum,” tandasnya.

4. Kasus kekerasan terus meningkat setiap tahun

Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan terus naik setiap tahun. Tahun 2017 tercatat 348.446 kasus, melonjak jauh dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 259.150 kasus. Sebagian besar data tersebut bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR).

5. Pelaku kekerasan paling banyak adalah orang terdekat

Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga atau ranah personal yang mencapai angka 71 persen atau 9.609 kasus. Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan 31 persen di antaranya mengalami kekerasan seksual.

Dari 31 persen itu, kasus paling tinggi adalah perkosaan inses. Dari kekerasan seksual inses, paling banyak pelakunya adalah pacar, ayah kandung, ayah tiri, suami. Sementara, perkosaan yang dilakukan kakak kandung sebanyak 58 kasus.

Pos terkait