Di Era Jokowi Investasi Sektor Migas Terus Merosot

Kumbanews.com – Investasi di sektor hulu migas masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memegang tampuk kepemimpinan, nilai investasinya terus merosot.

Berdasarkan laporan tahunan 2017 yang dipublikasikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi di sektor hulu migas “hanya” mencapai US$10,07 miliar, atau menurun sekitar 9% dari realisasi di 2016. Jumlah itu juga hanya mencapai 88% dari target Revisi Rencana Kerja dan Anggaran tahun 2017.

Bacaan Lainnya

Apabila ditelusuri secara historis, penurunan investasi sudah jadi penyakit menahun sejak memasuki tahun 2015. Di tahun pertama pemerintahan Jokowi tersebut, nilai investasi sektor hulu migas anjlok 23,19% dibandingkan capaian tahun 2014.

Penurunan itu terus berlanjut hingga tahun 2017 nilainya menjadi tinggal US$10,07 miliar. Performa itu berbanding terbalik dari nilai investasi yang terus menanjak pada periode 2010-2014.

Yang paling mengkhawirkan adalah penurunan tajam di investasi untuk kegiatan eksplorasi. Sebagai informasi, investasi untuk eksplorasi amat penting untuk pengembangan sektor hulu migas di masa depan, sekaligus memastikan ketersediaan energi untuk generasi mendatang.

Pada tahun lalu, investasi untuk kegiatan eksplorasi (plus administrasi) menurun hingga 86% ke angka US$200 juta saja, apabila dibandingkan capaian tahun 2013 yang mencapai US$1,39 miliar.

Lantas, apa yang menyebabkan penurunan investasi migas yang begitu dalam (khususnya untuk aktivitas eksplorasi) di masa pemerintahan Jokowi?

Faktor utama yang memengaruhi adalah penurunan harga minyak dunia yang signifikan sejak pertengahan 2014, bahkan hingga menyentuh level US$30/barel pada awal tahun 2016 lalu. Akibat harganya yang rendah, investor pun cenderung ogah-ogahan untuk berinvestasi di sektor migas.

Pada tahun 2017, sebenarnya harga sang emas hitam mulai pulih hingga menyentuh rata-rata tahunan sebesar US$54,78/barel. Namun, nampaknya nilai itu masih dianggap cukup rendah sehingga belum mampu menarik minat investor.

Terlebih, tantangan lainnya berasal dari prospek cadangan migas RI yang kini banyak terendap di wilayah timur Indonesia, khususnya di perairan laut dalam. Hal ini berarti secara teknis akan lebih sulit menemukan cadangan migas baru, sekaligus tingginya biaya yang dibutuhkan.

Lalu, bagaimana dengan tahun ini? Seperti diketahui, harga minyak dunia mulai tumbuh dengan cepat di tahun 2018. Harganya bahkan sudah menembus level US$80/barel pada akhir September 2018 lalu.

Hal ini tidak lepas dari kesepakatan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia untuk memangkas produksi, sekaligus adanya sanksi AS terhadap Iran.

Akan tetapi, kenyatannya investasi migas ternyata masih loyo. Berdasarkan data realisasi capaian sektor hulu migas yang dipublikasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi migas tercatat belum menunjukkan kinerja memuaskan.

Sampai kuartal III 2018 ini investasi migas baru tercapai 56% dari target 2018 yang sebesar US$14,2 miliar. Sementara sampai akhir tahun, investasi migas diperkirakan hanya tercapai 79% dari target, atau sebesar US$11,2 miliar.

Jika dibandingkan dengan tahun 2017, memang ada peningkatan sebesar 11,22%. Namun, secara realisasi 2018 yang hanya 79% dari target, masih jauh lebih parah dari realisasi 2017 yang masih sebesar 88% dari target.

Melihat harga minyak dunia yang menanjak, kini sentimen eksternal tidak bisa lagi disalahkan. Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai bahwa masih loyonya investasi migas di tahun 2018 tidak terlepas dari faktor regulasi.

“Tantangan utamanya adalah ketidakpastian regulasi. Investor masih wait and see mempelajari aturan baru seperti gross split,” ujar Fabby saat dihubungi Jumat (5/10/2018).

Hal itu disebabkan, sifat investasi migas yang capital intensive dan pengembalian investasi dalam jangka panjang, investor biasanya mewaspadai perubahan kebijakan dan regulasi termasuk tendensi adanya ketentuan pengalihan aset-aset kepada perusahaan lokal/BUMN di masa depan.

“Serta yang paling buruk adalah nasionalisasi seperti yang terjadi di Venezuela. Jadi kecenderungan-kecenderungan ini diwaspadai,” terangnya.

Lebih lanjut, Fabby juga menuturkan, adanya kekhawatiran akan kecenderungan nasionalisme oleh pemerintah. Menurut Fabby, investor sepertinya juga melihat Indonesia cukup berisiko dengan munculnya retorika “nasionalisme” yang sedikit banyaknya dipandang sebagai ancaman kestabilan usaha jangka panjang.

Ia menjelaskan, maksud dari retorika nasionalisme tersebut, sekarang ini ada kecenderungan segala sesuatunya harus dikerjakan oleh BUMN dan dilakukan oleh pemerintah. Gejala ini, tutur Fabby, dilihat oleh investor sebagai kecenderungan nasionalisme.

“Walaupun ini sebenarnya juga “retorika”, menurut saya. Tapi bagi investor, ini dilihat sebagai risiko yg harus diwaspadai,” tambahnya.

Adapun, selain itu ada faktor kompetisi dengan negara lain yang bisa memberikan tingkat pengembalian investasi yang lebih baik.

“Investor-investor migas internasional memandang Indonesia kurang menarik, karena tingkat risiko tinggi tapi imbal hasil (return) yang tidak sebaik negara-negara lain. Saya menduga paket-paket insentif yang diberikan pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan investor migas atau memang daya saing investasi migas kita kalah dengan negara lainnya,” pungkas Fabby

 

(Sumber : TIM RISET CNBC INDONESIA)

Pos terkait