Kumbanews.com – Lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap anggota DPR. Anggota parlemen ini ditangkap dari proses Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (27/3) sore.
Anggota DPR yang kali ini ditangkap diduga berinisial “BSP”. Apabila ditelusuri melalui rekam jejaknya, BSP adalah kader Partai Golkar dan duduk di Komisi VI DPR yang membawahi isu perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM dan BUMN, standarisasi nasional. Hingga saat ini, Ketua DPP Partai Golkar, Aceh Hasan enggan berkomentar soal informasi kadernya yang tertangkap oleh KPK.
“Itu biar diserahkan saja ke pihak yang berwenang,” kata Ace Kamis (28/3) pagi.
Dari data yang dimiliki oleh lembaga antirasuah, maka ini menjadi anggota DPR ke-72 yang diproses KPK sejak 2002 lalu. Sementara, ini menjadi operasi senyap keempat yang digelar pada 2019.
Siapa saja nama 71 anggota DPR lainnya yang telah berhasil ditangkap oleh KPK? Berikut datanya.
1. Kader yang paling banyak diproses oleh KPK berasal dari Partai Golkar
Berikut daftar lengkap anggota DPR yang telah diproses KPK sejak 2002. Walau sudah berdiri sejak 2002, namun anggota DPR pertama yang berhasil mereka tangkap terjadi pada 2007.
1. Noor Adenan Razak
2. Saleh Djasit
3. Sarjan Tahir
4. M Al Amien Nur Nasution
5. Anthony Z. Abidin
6. Bulyan Royan
7. HM Yusuf Erwin Faisal
8. Azwar Chesputra
9. Fachri Andi Leluasa
10. Hilman Indra
11. Dudhie Makmun Murod
12. Endin A. J Soefihara
13. Udju Djuhaeri
14. Hamka Yandhu
15. Abdul Hadi Djamal
16. Ahmad Hafiz Zawawi
17. Marthin Bria Seran
18. Paskah Suzetta
19. Bobby SH Suhardiman
20. Anthony Zeidra Abidin
21. Agus Condro Prayitno
22. Max Moein
23. Rusman Lumbantoruan
24. Poltak Sitorus
25. Williem M Tutuarima
26. Muhammad Nurlif
27. Asep Ruchimat Sudjana
28. Reza Kamarullah
29. Baharuddin Aritonang
30. Hengky Baramuli
31. Daniel Tanjung
32. Panda Nababan
33. Engelina Patiasina
34. M Iqbal
35. Budiningsih
36. Jeffri Tongas
37. Ni Luh Mariani
38. Sutanto Pranoto
39. Soewarno
40. Matheos Pormes
41. Sofyan Usman
42. Amrun Daulay
43. Nazarudin
44. Wa Ode Nurhayati
45. Angelina Patricia Pingkan Sondakh
46. Zulkarnane Djabar
47. Izedrik Emir Moeis
48. Luthfi Hasan Ishaaq
49. Chairun Nisa
50. Annas Urbaningrum
51. Sutan Bhatoegana
52. Adriansyah
53. Patrice Rio Capella
54. Dewi Yasin Limpo
55. Damayanti Wisnu Putranti
56. Budi Supriyanto
57. Andi Taufan Tiro
58. I Putu Sudiartana
59. Charles Jones Mesang
60. Yudi Widiana Adia
61. Musa Zainudin
62. Miryam S. Haryani
63. Markus Nari
64. Setya Novanto
65. Aditya Anugrah Moha
66. Fayakhun Andriadi
67. Amin Santono
68. Eni Maulani Saragih
69. Taufik Kurniawan
70. Sukiman
71. Muhammad Romahurmuziy
2. Partai Golkar mencoba membenahi citra
Sementara, Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan mengatakan, saat ini parpolnya tengah membenahi citra usai terpuruk dalam stigma korupsi. Hal itu gara-gara mantan ketumnya, Setya Novanto, terjerat kasus mega korupsi KTP elektronik.
Ia menyebut, ketum partai saat ini, Airlangga Hartarto, langsung mengambil tindakan tegas apabila ada kadernya yang terbukti tersangkut kasus korupsi.
“Kader tersebut langsung kami berhentikan dan PAW (Pergantian Antar Waktu) apabila dia anggota DPR,” kata Ace ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (11/2).
Partai berlambang pohon beringin itu mengadopsi slogan “Golkar Bersih, Golkar Jaya, Golkar Menang”. Yang dimaksud bersih di sini, kata Ace, termasuk mewanti-wanti seluruh kader partai agar tidak korupsi.
“Kedua, di semua tingkatan telah menandatangani apa yang dinamakan pakta integritas. Itu semua ditteken oleh seluruh pengurus partai. Kalau mereka memang terindikasi melakukan perbuatan korupsi, maka kami akan memberi sanksi tegas,” tutur dia.
Lalu, bagaimana dengan pengakuan salah satu mantan kadernya, Eni Saragih, yang menyebut mengawal proyek PLTU Riau-1 atas instruksi Ketum Partai Golkar? Menurut Ace, itu hanya pengakuan pribadi dan sepihak Eni.
“Hal itu juga sudah pernah dibantah. Tidak pernah sekali pun partai memerintahkan dia mencari sumber-sumber pemasukan yang dinilai melanggar hukum. Itu kan juga sudah terungkap di pengadilan,” kata dia.
3. Sebagian besar anggota DPR diproses KPK karena menerima suap
Dari data KPK tersebut, menunjukkan 66 dari 72 anggota DPR diproses karena kasus menerima suap. Padahal, gaji sebagai anggota DPR sudah cukup tinggi.
Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2015, Â anggota DPR RI mendapatkan gaji total sekitar Rp54 juta. Dari surat tersebut diketahui rincian gaji anggota DPR, yakni gaji pokok Rp4,2 juta, tunjangan komunikasi Rp15,5 juta, tunjangan kehormatan Rp5,6 juta bantuan langganan listrik dan telepon Rp7,7 juta, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran Rp3,75 juta, dan uang sidang Rp2 juta.
Jika diakumulasi dengan beberapa poin gaji lainnya, maka uang gaji yang dibawa pulang anggota DPR mencapai Rp54 juta.
4. Persepsi DPR sebagai institusi yang korup akan tetap dipegang lima tahun ke depan
Dari sudut pandang organisasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), citra DPR yang korup tidak akan berubah hingga lima tahun ke depan. Mengapa? Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, banyak caleg DPR yang justru tidak ingin profil dan rekam jejaknya tidak ingin diketahui publik.
“Budaya ketertutupan (caleg) ini dekat sekali dengan korupsi. Penyakit yang sampai saat ini belum tuntas diusir dari DPR. Salah satu pemicu korupsi itu adalah ketertutupan DPR,” ujar Lucius di kantor Populi Centre pada November 2018 lalu.
Lucius menyampaikan komentarnya berdasarkan data. Menurut dia, dari 4.460 caleg yang statusnya Daftar Calon Sementara (DCS), sebanyak 3.351 orang menolak mempublikasikan profilnya.
“Kemudian, sebanyak 2.074 di antaranya, yang secara terang-terangan menyatakan tidak mau profilnya dipublikasikan.” kata dia.
Sesuai data yang ia pegang, caleg yang berasal dari Partai Demokrat yang paling banyak menolak. Jumlahnya mencapai 575 orang.
Menurut Lucius, perilaku tertutup itu adalah hal yang aneh. Justru, seharusnya caleg bersikap terbuka, agar publik mau memilih mereka.
Lalu, apa tanggapan Partai Demokrat terkait dengan banyaknya caleg mereka yang menolak datanya diungkap ke publik? Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum DPP, Ferdinand Hutahaean menjelaskan yang ditolak untuk diungkap ke publik adalah data yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Di sana itu ada juga data mengenai anggota keluarga lainnya seperti istri, suami, anak. Itu adalah hal-hal yang sifatnya private dan tidak boleh masuk ke gelanggang politik. Hal tersebut demi melindungi keluarga dari gelanggang politik,” kata Ferdinand (11/2) lalu.
Ia mengaku tidak keberatan apabila data pribadi dan rekam jejaknya menjadi konsumsi publik. Tetapi, bukan anggota keluarganya. Lalu, bagaimana cara publik mengetahui rekam jejak caleg dari Partai Demokrat?
“Di situ pentingnya caleg untuk turun ke dapil. Nanti di sana akan ditanya oleh publik siapa kita dan apa yang akan kita lakukan. Kan kita di sana berinteraksi dengan calon pemilih kita dan bukan dengan LSM,” kata dia lagi.
Menurut Ferdinand, apabila caleg tersebut tidak menghampiri dapilnya maka itu pertanda dia tidak ingin dipilih.
“Buat apa kita pilih caleg yang tidak mau terpilih?” tutur dia lagi.